Part 29

71 9 8
                                    


S

alam kenal, aku penulis amatir, yang kerjanya cari pengalaman. Silahkan tandai kalau ada kesalahan atau kekurangan,ya. Happy reading, hope you like it!!

🌼🌼🌼

Hanun menatap sendu pantulan dirinya dicermin semakin hari, semenjak ia kehilangan banyak darah akibat benturan dikepalanya beberapa hari lalu, dirinya semakin pucat. Ditambah lagi ia jadi sering mengalami vertigo dan pusing yang tak tertahankan. Terlalu banyak yang ia fikirkan, ternyata berdampak buruk pada kondisi kesehatannya.

Padahal dokter Zain, salah satu jamaah abahnya itu sudah menyarankan agar tak terlalu berfikir yang berat-berat. Tenang, rileks. Tapi nihil, kejadian-kejadian belakang ini yang menimpanya adalah hal besar yang tidak bisa disepelekan. Dan tidak bisa tidak ia fikirkan.

Terlambat untuk belajar masa bodo, Hanun memang terlalu perhatian. Hal kecil yang tak perlu difikirkan, akan menjadi bebannya ditengah malam. Jika tidak menemukan jawaban atau jalan keluar, ia akan pusing sendiri.

Huft, beruntung ia senang mengaji. Setidaknya ia masih bisa mengontrol jiwa dan raganya agar tak terlalu kalut dan takut menghadapi lika-liku kehidupan.

Sejak kejadian itu, Pak Zumain menyuruh Hanun agar memperbanyak istirahat supaya tetap pulih. pekerjaan rumah tak perlu sering-sering ia kerjakan, selama lantai masi bersih tak perlu mengepel setiap hari, begitu cakap beliau. Bukan apa-apa, Pak Zumain tak ingin Hanunnya kenapa-napa. Hanya Hanun hartanya yang berharga.

Tak dirasa, cairan hangat mengalir dari kedua hidungnya. Ini sudah lima kalinya ia mimisan, padahal hari baru beranjak siang. Buru-buru ia mengambil tisu dan membersihkan sisa-sisa aliran darah. Abah jangan sampai tau, gumamnya. Hanun mengambil alas bedaknya seujung jari, lalu meratakannya dibawah hidungnya. Menyamarkan bekas noda darah.

Kembali, ia memandangi pantulan dirinya. O, bibirnya pucat sekali. Abah tidak boleh tau, gumamnya untuk yang kedua kali. Tangannya mengulur ke laci nakas, mengambil pewarna bibir yang lumayan mencolok, maksud hatinya menutupi bibir pucat itu agar ayahnya tak khawatir. Sebentar lagi ia akan berbelanja, seperti biasa. Ia tak ingin, ketika meyapa ayahnya dengan kondisi yang semakin memperhatinkan. Ia tak ingin menambah beban fikiran lelaki yang dicintainya itu.

Hanun beranjak dari kursinya perlahan. Tangannya bertumpu pada tembok disebelahnya sambil menetralkan rasa pusing dan buram ketika ia berdiri. Ketika pusingnya mereda dan buramnya terganti cahaya, ia melangkah setelah tak lupa menghela nafas dan mempersiapkan diri. Ia harus bangkit melawan penyakitnya. Ia harus sehat untuk ayahnya.

Hanun sudah siap dengan keranjang anyam nya. Ia berpamitan kepada ayahnya seperti biasa. Namun setelah selesai berpamitan, Pak Zumain tak melepas pegangannyapada telapak tangan Hanun. Hanun menoleh dengan senyum ramahnya.

“Abah, ada apa?”

Pak Zumain meneliti paras anaknya.
“Kenapa kamu memakai lipstick terlalu banyak,Nak?’

Hanun gelagapan. Ia mengusap bibirnya kasar dengan kain baju lengan dalamnya.

“Aah, menurut abah aja, mungkin. Hanun seperti biasa, kok. Ini Hanun seperti biasanya, tak ada yang Hanun lebih-lebihkan” binar matanya mencoba meyakinkan.

“Kamu anak abah,Han. Abah paling tau kamu. Kenapa bibirmu pucat? Abah bisa melihatnya walau kau tutupi dengan lipstick tebal. “

Kepalang basah, Hanun memang tidak pernah bisa mengelakdari penilaian ayahnya. Memang benar, lelaki paruh baya itulah yang paling tau, bahkan walau Hanun tak bercerita sama sekali.

Meet For Leave (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang