Part 37

197 12 29
                                    

Salam kenal, aku penulis amatir, yang kerjanya cari pengalaman. Silahkan tandai kalau ada kesalahan atau kekurangan,ya. Happy reading, hope you like it!!

🌼🌼🌼


Langkah kaki pemuda itu berat, seakan kedua kakinya tidak rela memasuki ruangan penuh haru ini. Jalannya melambat, tapi tetap bergerak. Si empu nya terlihat mempertimbangkan sesuatu, antara terus maju atau menunggu.

Matanya menerawang sendu kearah seorang gadis yang terbaring kurang dari 4 meter di depannya, mengulas senyum yang tidak manis. Malah mengundang kesedihan. Bisa-bisanya gadis itu tersenyum seperti itu, padahal semua orang yang menunggunya diluar menangis sesenggukan?.

Kala jarak antara keduanya semakin sempit, pemuda itu terus melirihkan kalimat maaf. Sampai tak ada jarak di antara keduanya. Ray benar-benar berdiri disamping ranjang Hanun, menatap gadis pucat itu lekat-lekat. Hanun sendiri tak bisa berbuat banyak. Lidahnya kelu dan tubuhnya masih kaku.

“Maaf,ya?”

Hanun menggeleng dengan senyum yang terus dipertahankannya.
“ Kamu nggak salah apa-apa.”

“Coba waktu itu aku bisa menjaga batasan, menjaga diri, kamu pasti nggak akan terbaring disini. kamu pasti tidak akan lari, tidak akan jatuh dan membentur batu, tidak akan ada luka yang keluar dan memperparah kondisi kamu.”

Ada sisi Ray yang membuat Hanun tersenyum bangga. Tidak ada Ray si buronan polisi, pembuat onar,pemabuk, atau orang kasar dihadapannya. Yang ada hanya Ray dengan mata yang berair, yang terus-terusan menyesali perbuatannya.

Ilmu islam yang sedikit itu benar-benar merubahnya. Mulai dari dalam hingga tampilan pemuda itu.

“Kenapa kamu jadi mencela takdir? Yang sudah terjadi tidak perlu di sesali. Ini yang terbaik”

“Yang terbaik bagaimana? kamu terbaring lemah dan sempat koma beberapa lama itu? Atau yang terbaik karena orang-orang diluar sana menagis sambil menggumamkan namamu?”

“Yang terbaik menurut kamu, belum tentu baik menurut Allah.”

Bu Indah meraih lengan kekar anaknya. Memperingatkan agar tidak berlebihan dengan isyarat mata berkerut itu. Gadis itu baru saja sadar.

“Aku senang kamu berubah. Aku harap kamu terus mempelajari islam agar semakin dekat dengan Allah. Bagaimana setelah mendekat denganNya, bahagia bukan? Terimakasih juga telah mengunjungiku. Selamat atas kebebasanmu” Hanun memaksakan seluruh kata-kata itu keluar walau dengan suara yang bahkan hampir tidak terdengar.

“Jahat sekali. Aku padahal datang membawa ibu ingin melamarmu. Tapi kita malah diperlihatkan kenyataan seperti ini” Hanun tersenyum simpul sambil memejamkan mata.

Sekilas ini teringat, ada banyak rencana yang ia buat. Planning tahun depan, lima tahun kedepan, bahkan planning panjangnya.

Tentang rencana menikahnya dengan Yahya, membahagiakan abahnya, melanjutkan study hadits atau sanad Al-Quran sesuai mimpinya, menjadi ibu dan istri yang baik, dan segala macamnya.

Ternyata semua itu hanya berakhir rencana. Allah menuliskan takdir lain yang bahkan sama sekali tak bisa terbantahkan oleh siapa saja yang menerimanya.

Benar sekali, kematian adalah nasihat yang baik.

Tiba-tiba nafas gadis itu menjadi pendek. Sekelibat bayangan umma menunggunya di tepi danau itu terlihat lagi. Mulutnya terbuka mencari-cari oksigen terdekat yang bisa diraih. Seketika dua manusia disampingnya gelagapan. Sedih mereka makin membuncah. Pak Zumain yang melihat itu segera masuk dan mengusap-usap puncak kepala anaknya.

Meet For Leave (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang