Cahaya matahari yang menyilaukan menerangi setiap sudut kamarku. Udara panas merembes masuk mengikuti, membangunkanku dari tidur yang buruk. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhku, sedangkan tanganku gemetar dengan hebat. Aku menoleh ke kiri, di mana sudah tersedia secangkir teh hangat di atas meja. Tunggu, kenapa aku ada di kamarku?
Saat hendak meraih cangkir teh, aku dikejutkan dengan sosok laki-laki yang berdiri di dekat pintu. Tubuhnya tinggi kurus, dengan rambut pendek berwarna hitam legam yang membuat mata ungunya terlihat lebih mencolok. Senyumnya merekah, kemudian ia duduk di kasurku. Lelaki itu menyisir rambutku ke samping dengan jemarinya. Tangannya yang hangat adalah salah satu hal favoritku tentangnya. "Bagaimana keadaanmu? Sudah membaik?"
"Ya, lumayan." Aku mengembangkan senyumku sendiri. "Terima kasih, Sebastien."
Sebastien mencubit pipiku, kemudian bangkit dan berjalan keluar. Sebelum menghilang dari pandanganku, ia berujar pelan. "Tidurlah lagi kalau kamu masih merasa kurang sehat. Aku akan buatkan sarapan."
"Sini aku bantu." Saat aku hendak berdiri dari kasur, sekujur tubuhku mengejang. Aku bisa merasakan sakit di tiap ujung tubuhku. Rasanya seperti disambar petir yang ganas. Dalam sekejap aku ambruk di kasur dan tidak mampu bergerak. Sebastien merapikan posisi tidurku, lalu mengusap keningku dengan lembut. Wajahku memerah karena malu. "Maafkan aku."
"Enggak apa-apa. Merepotkanku memang sudah menjadi keahlianmu." Sebastien mengacak-acak rambutku, yang seketika membuatku jengkel. Aku baru akan memukul pundaknya, tapi ia begitu cepat menghindar. Ia berlari kecil ke pintu, lalu berujar sambil terkekeh. "Biar kubawakan makanannya padamu. Kamu tunggu saja seperti anak yang baik."
Aku berpura-pura kesal padanya, meskipun dalam hati aku merasa tenang. Perlahan-lahan, aku mencoba mengingat sedikit demi sedikit hal yang terjadi padaku semalam. Aku pergi ke Toko Roti Bready karena ada hal yang menggangguku. Suara teriakan seorang perempuan. Sikap Tom yang janggal. Amein yang ingin tahu. Amein yang untuk pertama kalinya tidak melawan orang tuanya. Tentang Tom dan Amein.
Astaga. Tom dan Amein! Amein ada di sana, dan mereka saling kenal. Mereka di sana bersama... L-lalu, mereka mengawasiku? Untuk apa? Mereka mau membunuhku!? Amein menenteng Arcblast! Ada manusia bertopeng aneh yang menakutkan! Aku panik karena tidak bisa bergerak lalu terjatuh dari atap.
Aduh!
Kepalaku rasanya nyeri sekali, seperti mau pecah. Semua informasi ini membuatku mual. Aku berusaha menggeliat dan malah terjatuh dari kasur dan muntah di lantai. Berkali-kali. Kepalaku terasa berputar-putar. Perutku perih, seperti dililit kawat tajam yang menyobek kulit. Napasku tak beraturan. Aku tidak bisa tenang. Apa yang terjadi semalam adalah mimpi buruk. Mereka menyeramkan, aku takut. Tolong aku!
"Astaga, Emma, kamu baik-baik saja?" Sebastien buru-buru menaruh sup wortel buatannya di meja lalu membantuku kembali ke kasur. Ia membuka pakaianku dan mengelap sisa muntahan di wajahku. Sebastien menempelkan punggung tangannya ke sekitar leherku. "Demammu tinggi."
Sebastien menaruh baki makanan ke pangkuanku, lalu bergegas meninggalkan kamar. Aku menatap sup wortel di hadapanku, dan rasa mual kembali muncul. Biasanya aku selalu suka sup wortel buatan Sebastien, tapi saat ini aku benar-benar tidak bisa menerima makanan apa pun. Aku mengangkat baki perlahan dan menaruhnya di samping, sambil berharap mangkuk itu tidak jatuh dan menumpahkan sup wortel yang sudah susah payah dibuat oleh Sebastien. Sudah cukup masalah timbul di kamar ini.
Sebastien kembali lagi, kini membawa baskom berisi air hangat dan kain basah. Ia melotot saat mendapati aku yang belum menyentuh bubur buatannya sesendok pun. Ia berhasil mengintimidasiku, karena aku buru-buru mengambil mangkuk sup dan memakannya. Rasanya pahit sekali. Tidak, bukan rasanya yang tidak enak. Masalahnya ada pada lidahku yang tidak bisa merasakan apa-apa. Dasar lidah bodoh, bisa-bisanya kamu mengkhianatiku. Sebastien mengusapkan kain hangat ke sekujur tubuhku yang terkena noda muntah, sedangkan aku berusaha menyuap bubur yang pahitnya bukan main. Aku tidak sanggup lagi, jadi kuberikan sup itu pada Sebastien setelah suapan keempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Legenda Bintang Hitam: AREA 93
Fantasy[PG-13] Hidup di bawah jajahan satu kota yang mendapatkan kekuatan besar dari meteorit mungkin sudah bisa dianggap sebagai kehidupan yang tidak normal bagi Remilia Jarrett. Tapi, suara misterius yang memancing rasa penasarannya mampu membuktikan bah...