06. Pengintaian

43 14 0
                                    

Mataku terus melekat pada ponsel yang berdering di atas meja. Sudah hampir satu minggu aku tidak masuk sekolah, dan selama itu juga Amein berkali-kali mencoba menghubungiku. Aku sempat membaca salah satu pesannya. Pesan itu mengatakan kalau ia dan teman-teman khawatir akan keadaanku, dan sempat ingin menjengukku ke rumah. Tapi mereka membatalkan rencana itu karena tahu aku sangat menomor satukan privasi, dan mereka ingin menghargai itu. Jadi, mereka memutuskan untuk mengirim hadiah ke rumahku. Aku tidak tahu apakah ada paket yang datang selama aku mengurung diri di kamar, dan sesungguhnya aku tidak begitu peduli.

Sahabatku di SMA Pistrock, Amein Nacis, ternyata bukan orang yang aku duga. Di mataku, cowok itu selalu terlihat sebagai sosok lemah lembut yang membenci kekerasan. Ia selalu menceritakan bagaimana ia selalu membayangkan indahnya hidup damai. Tidak ada kebencian, peperangan, atau hal-hal lain yang memecah belah semua orang. Dulu, tak pernah terlintas di kepalaku sosok Amein yang bisa menenteng senjata. Semua gagasan itu seolah runtuh sekarang. Amein yang sekarang berbeda, ia sudah berubah 180 derajat menjadi lebih buruk. Tidak, dia tidak berubah. Mungkin dia memang selalu seperti itu, aku saja yang terlambat menyadarinya. Ia menggunakan karismanya untuk memanipulasiku, membuatku menyukainya hingga akhirnya kami bersahabat. Semua itu semata-mata agar ia bisa senantiasa mengawasiku sepanjang waktu. Bangsa Slare, aku memang tidak boleh percaya pada kalian.

Selain Amein, ada Tom, sahabat Ayahku. Sebenarnya yang ini jauh lebih mengejutkanku. Aku mengenal Amein kurang dari setengah tahun, jadi rasanya wajar kalau aku salah menilainya. Tapi, Tom? Dia adalah orang yang sudah kami anggap bagian dari keluarga. Kedekatan Tom dengan keluarga kami sudah berlangsung bahkan sebelum aku dan Sebastien lahir. Dia selalu ada saat keluarga kami membutuhkan bantuan, begitu pula sebaliknya, kami selalu ada kapan pun ia dalam masalah. Dia adalah orang yang membantu prosesi pemakaman Ayah kami dan menjaga serta merawat Sebastien dan aku selama beberapa bulan pertama hidup tanpa orang tua. Membayangkan ia merupakan salah satu orang yang memburuku adalah mimpi terburuk yang tak pernah bisa aku bayangkan. Kenyataan bahwa ia dan Amein saling mengenal, bahkan bekerja sama, adalah bonus tikaman di jantung.

Terakhir, pria bertopeng. Aku bahkan tidak tahu siapa orang di balik topeng itu, tapi aku bisa merasakan kalau dia bukan orang baik-baik. Aura tubuhnya menakutkan, dan suaranya yang menggelegar membuat tubuhku kaku ketika mendengarnya. Teror yang disebarnya pun tidak main-main, seolah ia benar-benar ingin memamerkan kebengisan yang ada pada dirinya.

Tiga orang tadi bekerja sama untuk menangkapku, entah apa alasannya. Aku sudah tidak bisa bersembunyi dalam ketakutan lagi. Sebastien tidak akan bisa melindungiku. Jangankan melindungi, untuk percaya ceritaku saja mustahil. Jadi, apa yang kira-kira bisa aku lakukan untuk melindungi diri? Sepertinya aku tidak punya pilihan selain menelan bulat-bulat rasa takutku dan kembali ke toko roti. Aku harus tahu alasan mereka ingin menangkapku. Apa yang aku miliki hingga mereka mengincarku? Mungkin saja aku bisa memberikannya, berharap setelahnya mereka akan meninggalkanku sendiri. Ya, meskipun terdengar gila, itu satu-satunya hal yang terpikirkan olehku.

Hari ini Sebastien masih bekerja, jadi aku bisa menyelinap dengan tenang. Aku tidak bisa hanya membawa pisau lipatku. Sekarang, bukan hanya serigala gunung yang harus aku waspadai, tapi juga tiga orang yang kini memburuku. Aku harus membawa senjata lain. Kuputuskan untuk menyusup ke kamar Sebastien, mencari sesuatu dari tempatnya bekerja yang bisa aku jadikan senjata. Pencarianku terhenti saat aku menemukan sebuah pistol bertenaga Krystract di dalam lemari pakaiannya. Dengan tangan gemetar aku meraih senjata itu. Satu tarikan pelatuk dan nyawa seseorang bisa melayang. Pertanyaannya adalah, apakah aku sanggup melakukannya? Apakah aku bisa membunuh seseorang? Tidak. Aku tidak harus membunuh. Aku hanya perlu memperlambat mereka kalau-kalau aku ketahuan, memberiku cukup waktu untuk kabur. Ya, tidak harus ada darah yang tumpah.

Satu jam kemudian, aku sudah berada di atap toko roti. Aku berusaha mengendap-endap sehalus mungkin, takut mereka yang di dalam mendengarku. Aku yakin mereka sudah tahu kalau aku menguping mereka waktu itu, jadi kini mereka harus lebih waspada pada apa yang terjadi di atap. Aku mengintip sedikit, berusaha agar tidak memancing perhatian. Di dalam toko ada Tom, dan dia sedang berbincang dengan pria bertopeng. Aku tidak melihat keberadaan Amein di sana.

Legenda Bintang Hitam: AREA 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang