13. Pemberontakan

39 13 1
                                    

"Kamu mau ke mana?"

Wajah Sebastien berubah merah saat aku memergokinya hendak keluar rumah. Ia menatapku berdiri di depannya, mengenakan kaos abu-abu dan celana pendek hijau. Senyum mengembang di wajahnya, tapi aku tahu itu bukan senyum sungguhan. Dia tertangkap basah olehku, dan kini tidak bisa mengelak lagi.

"Emma, apa yang kamu lakukan di sini?" Sebastien terlihat khawatir, tapi aku tidak tahu apa yang dia khawatirkan, aku atau dirinya. "Bukankah kamu masih sakit? Kenapa kamu keluar kamar?"

"Aku baik-baik saja," aku bohong, tapi ada kemungkinan dia akan berbohong juga, jadi aku tidak akan merasa begitu buruk. "Kamu mau ke mana? Kenapa pergi diam-diam?"

Aku masih diam saat wajahnya berubah serius. Kini, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain memberitahu semua yang tidak aku ketahui. Sebastien menghela napas, lalu menatapku tepat di kedua mata. "Baiklah, aku tidak bisa seperti ini terus. Ganti pakaianmu, aku akan menunggu di sini. Kalau dalam sepuluh menit kamu belum selesai, aku akan meninggalkanmu."

Gelagat Sebastien aneh, tapi aku tidak akan menanyakannya sekarang. Aku bergegas ke kamar dan berganti pakaian. Tidak ada waktu untuk berdandan. Jadi, aku hanya mengganti celanaku dengan celana hitam panjang dan mengambil sweter hitam dan langsung kembali. Aku tidak ingin ditinggal dan dibuat seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa lagi. Kali ini, aku akan tahu semuanya, meskipun itu akan mengancam nyawaku.

"Jangan paksakan dirimu, tubuhmu masih penuh luka." Sebastien mengingatkanku, dan rasa nyeri langsung menyebar ke sekujur tubuhku. Sial, pikirku, sakit sekali. Tapi aku tidak boleh terlihat kesakitan sekarang, karena Sebastien pasti akan meninggalkanku. Jadi, aku berusaha mati-matian menahan rasa sakit agar terlihat baik-baik saja. Aku bahkan melakukan peregangan untuk meyakinkan Sebastien, hal yang langsung kusesali sesaat kemudian. Sebastien sempat terlihat khawatir, tapi aku langsung memastikan kalau aku tidak apa-apa. "Ya sudah, ayo berangkat."

Sebastien membawaku ke arah taman kota, yang sesungguhnya sangat tidak menggambarkan taman sama sekali. Ia terlihat waspada, terus-menerus melihat ke kanan dan kiri, bahkan sesekali ke belakang. Aku masih tidak tahu apa yang terjadi, lalu Sebastien berjalan ke sebuah toko daging. Toko ini kan tempat Tom biasa membeli daging, toko daging milik Pierre. Apa yang kita lakukan di sini?

"Cepat masuk," Sebastien mendorongku ke dalam toko, dan di sana ada Pierre dengan wajah ketusnya, terkejut melihat kami. Mungkin bukan kami, lebih seperti terkejut melihatku. Sebastien menatap Pierre datar, lalu berucap pelan, "kamu ingat adikku, Emma?"

"Oh, tentu saja aku ingat." Nada bicaranya seperti sedang menghardik. Ia tidak menatapku sedikit pun, dan hal itu membuatku kesal. Aku bukan anak kecil, jangan perlakukan aku seperti itu. "Aku tidak tahu kamu sedang jadi pengasuh."

"Dia tidak mengasuh siapa-siapa." Kataku kesal. Aku menghampiri Pierre dan memberinya tatapan penuh penghinaan. "Jaga mulutmu, orang tua, atau aku akan merontokkan gigi-gigimu yang sudah lemah itu."

"Oh, Emma kecil sekarang berlagak kuat, ya?" Pierre lalu mendekatkan wajahnya padaku dengan tatapan menantang, ia ingin melihat sejauh mana aku akan bertindak. Kepalan tanganku mengeras saat tiba-tiba Pierre mengeluarkan pisau daging besar dan menempelkan ujungnya ke leherku. Aku menelan ludah dan langsung tidak bisa bergerak. Apakah dia serius akan melakukan ini? Di depan kakakku yang merupakan tentara Slare? Aku menahan napas, berusaha agar tidak berteriak minta tolong. Wajah Pierre mengeras, dan ia menaruh kembali pisaunya, dan di saat bersamaan napasku kembali. Ia menatap Sebastien dengan wajah kesal. "Dia lemah. Apa yang dia lakukan di sini?"

"Bukan urusanmu. Tugasmu hanya berjaga, bukan bertanya." Sebastien menjawab datar, tangannya menarik tubuhku agar dekat dengannya. "Satu lagi. Jangan sentuh dia kalau kamu masih sayang nyawa."

Legenda Bintang Hitam: AREA 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang