21. Kebenaran yang Terungkap

33 11 2
                                    

Bagaimana perasaanmu ketika orang yang menyelamatkanmu ternyata selama ini berbohong dan menyembunyikan kebenaran di belakang punggungmu? Lalu, bagaimana kalau orang yang kamu benci karena merenggut belahan jiwamu justru menyajikan kenyataan pahit yang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat? Mungkin itulah yang dirasakan oleh Amein saat mengetahui nasib Remilia Jarrett dari dunianya. Memang secara teknis aku tidak mengutarakan kebohongan padanya, tapi menyembunyikan kebenaran menurutku sama buruknya. Semua tetap buruk meskipun diamku bertujuan demi kebaikannya. Aku hanya tidak ingin melihat dirinya hancur.

Tidak. Bukan itu alasannya. Bukan perasaan sentimental dan sok sensitif yang menjadi alasanku bungkam, melainkan perintah langsung dari Nolan untuk merahasiakan ini darinya. Bahkan sebenarnya bukan perintah Nolan yang membuatku patuh, karena aku tidak merasa tertekan sama sekali dengan perintahnya. Aku tidak takut padanya, dan alasanku turut diam bukan karena rasa seganku pada Nolan—yang sangat minim. Aku diam karena aku setuju dengan Nolan, meskipun alasan kami bisa berbeda. Aku tidak ingin Amein tahu, karena aku tidak ingin dia melihat dunia ini dengan rasa benci. Tidak, aku tidak ingin dia melihatku dengan rasa benci. Kenyataan bahwa kematian Remi diperlukan untuk mencari keberadaan Emma membuatku turut bersalah atas kematian dari tunangannya. Ya, aku bukan pembunuhnya, tapi aku adalah alasan seseorang membunuhnya, dan itu tidak membuat semua jadi lebih baik. Pada akhirnya aku harus diam dan berpura-pura bodoh. Namun kini, saat Amein sudah mengetahui kebenaran hancur karenanya, Sige dengan mudahnya menguasai pikiran Amein dan membuatnya melawanku.

Dalam usahaku melarikan diri dari Amein yang memburuku dengan membabi buta, aku jadi terpikir tentang sebuah kemungkinan kalau aku juga sebenarnya bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Amein dari duniaku. Apakah diam-diam Amein menyimpan sakit hati yang luar biasa padaku hingga akhirnya ia dengan mudahnya dipengaruhi oleh si pria bertopeng? Meskipun apa yang aku hadapi saat ini sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Amein yang sedang mengejarku saat ini lebih seperti monster tanpa akal sehat, yang bergerak hanya dengan dorongan amarah dan emosi yang terbakar. Seperti mayat yang digerakkan menggunakan tali dari atas oleh ahli boneka. Amein yang aku hadapi dulu tidak sama, karena dia terlihat sangat sadar akan keadaan sekitar dan tidak kelihatan seperti boneka. Tapi, kurasa Amein yang sadar akan tindakannya lebih menyakitiku, karena itu artinya apa pun yang kulakukan pasti sudah keterlaluan hingga membuatnya tidak segan membunuhku.

Pemikiran itu terlalu berbahaya dan membuat dadaku sesak. Diam-diam aku berdoa kalau itu bukan yang terjadi pada Amein. Aku tidak sanggup menerima kenyataan kalau satu-satunya temanku di Pistrock justru adalah orang yang paling ingin melihatku mati. Aku harap tidak. Aku bersedia menerima semua penjelasan mistis dan gila, selama aku bisa berhenti memikirkan kengerian itu.

Kini aku berada di balik pohon besar tak berdaun, dengan batang yang mulai rapuh dan berbau gosong. Aku mengintip ke jalanan tanah, dan Amein ada di sana, celingak-celinguk mencariku. Aku kembali mengingat bagaimana Sige menguasai pikiran Amein. Sebenarnya semua itu cukup sederhana, tapi dalam kesederhanaan itu kita bisa langsung tahu betapa berbahayanya kemampuan si pria bertopeng tersebut. Ketika Amein dirundung rasa putus asa dan amarah yang ditujukan padaku, yang perlu dilakukan Sige hanyalah membaca mantra dari bahasa Ahkanokhu dan memenuhi kepala orang yang disihirnya dengan satu kalimat yang berputar terus-menerus di kepalanya. Kalimat itu diucapkan kembali oleh Amein dengan suara yang aneh, terdengar tidak natural dan mengerikan. Selanjutnya, mata Amein berubah hitam sepenuhnya dan ia langsung berusaha menyergapku. Aku refleks mundur dan nyaris tersandung batu, syukurlah saat itu aku berhasil bermanuver dengan halus—dibantu keberuntungan yang luar biasa, dan bisa berlari meninggalkan mereka. Aku mendengar derap kakinya yang tidak konsisten langsung berusaha mengejar, tapi aku rasa Sige tidak turut serta. Kenapa? Padahal menurutku ini adalah waktu yang sangat tepat jika ingin menangkapku.

Kecuali...

"Pembunuh!" Suara teriakan itu mengejutkanku, dan hal selanjutnya yang terjadi padaku adalah tubuh yang mendadak tak bisa bergerak karena syok yang ditimbulkan. Amein mencekikku dari samping dan menekan tubuhku ke pohon. Aku berusaha meronta, tapi tidak banyak yang bisa aku lakukan. Amein yang ada di hadapanku tidak bisa merasakan apa-apa karena pikirannya masih dipengaruhi oleh Sige. Amein menekan leherku semakin erat, dan ia mengangkat tubuhku dari tanah. Ketika kakiku sudah tidak bisa merasakan tanah di bawahnya, aku tahu kalau aku dalam masalah yang sangat besar. Bukan hanya tentang keselamatanku, tapi juga keselamatan Amein. Aku berpegang pada lengannya, berharap bisa membantu tubuhku melawan gravitasi. Dengan tenaga yang entah tersisa seberapa banyak, aku memukul tangan Amein terus-menerus, sesuatu yang sebenarnya percuma karena ia tidak merasakan apa-apa. Ketika kepalaku mulai sakit dan tubuhku terasa melayang ke angkasa, aku melihat sekelebat bayangan yang menerjang Amein dengan cepat, melepaskan cekikannya dan seketika aku jatuh ke tanah. Aku sedang mengatur napas ketika sosok itu memberikan pukulan pamungkas yang langsung membuat Amein tak sadarkan diri. Ia segera mendatangiku, penyelamat yang sebelumnya berusaha membunuhku.

Legenda Bintang Hitam: AREA 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang