19. Tira dan Janji

36 12 0
                                    

Dulu, saat Sebastien dan Ayah merahasiakan semua tentang Ibu, aku merasa kalau itu terjadi karena mereka menyalahkanku atas kematian Ibu. Meskipun pada akhirnya pikiran itu terkubur dalam, tapi ada momen di mana aku merasa mereka merahasiakan Ibu karena tidak ingin aku turut mengenal dan mengotori kenangan mereka dengan Ibu. Tapi sekarang aku merasa kalau Sebastien juga tidak begitu mengenal siapa Ibu kami, bahkan kurasa Ayah juga tidak tahu secara pasti siapa Ibu sebenarnya. Semua rahasia yang disimpannya rapat-rapat hingga ia turut bawa sampai kematian, memberikan misteri tersendiri tentang siapa wanita itu di balik senyum dan dongeng-dongeng ajaibnya. Saat ini, aku merasa justru akulah yang paling mengenal sosok Ibu dibandingkan Sebastien dan Ayah.

Benar saja, Sebastien sangat terkejut mendengar kisahku, dan nyaris tidak bisa percaya. Tapi, seperti yang aku katakan, aku tidak pernah berbohong padanya. Selain itu, semua terasa lebih masuk akal. Dongeng-dongeng Ibu yang didengar langsung oleh Sebastien sewaktu kecil kini memiliki makna berbeda. Sewaktu aku mengatakan bahwa Gadya adalah Nenek kami, Sebastien semakin terkejut. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa sosok pahlawan yang rela mengorbankan dirinya demi kebaikan dunia, adalah bagian dari keluarga. Hal itu membuat Sebastien tiba-tiba khawatir, kenyataan baru saja memberikannya tamparan kesadaran yang keras.

"Jika kamu mengatakan yang sebenarnya dan semua dongeng yang diceritakan Ibu adalah sesuatu yang nyata, lalu apa yang terjadi pada Nenek dan Ahka?"

Sejujurnya, aku merasa Sebastien tidak melontarkan pertanyaan itu karena rasa penasaran, tapi rasa takut. Ia takut kalau asumsinya benar, dan dengan berat hati aku harus mengatakannya. Ketakutannya kini menjadi realitas, setelah sesuatu yang awalnya tidak begitu ia pikirkan, kini berubah menjadi mimpi buruk yang menyerang orang yang ia sayangi. Sambil menunjuk dadaku, aku berujar pelan. "Ya, Sebastien. Semua sihir yang kamu dengar dari Amein berasal dari sini."

"Aku tidak menyangka hidup kita akan jadi seperti ini," gumamnya. "Aku selalu berpikir kalau apa yang terjadi di Fyra adalah mimpi terburukku. Tapi, semua yang kamu katakan jauh dari masuk akal. Namun, entah kenapa aku merasa kalau semua itu benar adanya, dan itu membuat semua jauh lebih buruk. Kita adalah keturunan dari Gadya, Sang Pemanggil Cahaya. Persis saat ini, sosok makhluk yang disegel di dalam tubuhnya ada pada dirimu, dan entah sampai kapan. Apakah Mana Cahaya itu masih disegel sekarang? Kita tidak akan pernah tahu! Ini terlalu berlebihan, aku tidak bisa menerima semua informasi ini dengan normal. Aku bisa gila!"

Aku buru-buru meraih tangan Sebastien, menggenggamnya erat sampai perhatiannya terfokus padaku. Selembut mungkin aku berusaha meyakinkannya, bahwa aku juga mengalami kepanikan yang sama dengannya, kalau tidak lebih buruk. "Tapi sekarang kita bersama, dan beban seberat apa pun akan jauh lebih ringan jika kita memikulnya bersama. Kita bisa melakukannya, Sebastien, jika kita terus bersama."

"Ceritamu menarik, tapi kalimat terakhirnya membuat kami ingin muntah." Aku dan Sebastien langsung menoleh ke sumber suara, di mana Tira sedang duduk tersenyum menatap kami. Tangan Sebastien langsung dikepal keras, amarahnya sudah berada di ujung tanduk, dan ia sudah siap mengirim bogem mentah padanya. Aku segera menahan tangan Sebastien karena tidak ingin ada pertengkaran yang tidak perlu. Selain itu, ada hal lain yang menurutku lebih penting sekarang. "Kami harap ceritamu benar, karena sepertinya Kakakmu masih belum bisa sepenuhnya percaya. Atau belum mau sepenuhnya percaya."

"Kenapa kamu menyerangku?"

"Karena kamu menguping. Kami tidak suka jika ada yang ikut campur dengan urusan kami." Tira mendesis ke arah Sebastien, yang masih menatapnya dengan penuh amarah. Perempuan itu tertawa, puas karena bisa mengganggu Sebastien. "Tidak perlu memasang wajah marah seperti itu, kamu tidak akan pernah membuat kami takut."

Jemari Tira bergerak menuju wajah Sebastien, yang dengan cepat langsung ia tepis. Tawa Tira kembali membahana, menambah ketegangan di ruangan ini.

"Jadi, apa yang sudah kamu dengar tentang kami?" Wajah Tira mendekat ke arahku, ekspresinya berubah serius. "Kami yakin akan satu hal, mereka pasti sudah mengingatkanmu kalau kami 'gila', bukan? Kami rasa kamu sudah tahu. Mustahil mereka melewatkannya, itu kan cerita favorit mereka."

Legenda Bintang Hitam: AREA 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang