26. AREA 93

26 12 0
                                    

Pernah ada saat ketika kota tempat tinggalku memiliki nama yang berbeda. Aliqua. Kota yang terkenal oleh dunia malamnya. Kota paling glamor dan berkilau yang bisa ditemukan di Republik Fyra. Tentu saja itu sebelum benda sial bernama Krystract hadir dan memberikan kekuatan ke kota kriminal, Slare, memberikan mereka kesempatan untuk menyerang seluruh bagian Republik Fyra dan mengambil alih negara. Kini, Aliqua lebih dikenal dengan nama Area 93, percabangan dari Area Sembilan yang berfokus pada pendidikan Republik Fyra. Area 93, satu dari tiga area di Sembilan yang masih tersisa. Tapi kini, ada kemungkinan Area 93 akan menemui nasib yang sama seperti Area 92. Hancur dan tidak bisa ditinggali.

Hal pertama yang aku lihat saat mataku terbuka adalah gerhana bulan yang terjadi persis di depan mataku. Gerhana yang selanjutnya akan aku lupakan karena aku tersadar hanya sekitar sepuluh menit sebelum kekacauan hadir dan bom-bom dijatuhkan. Kulit bahu kiriku terkena luka bakar, yang aku duga karena Arcblast yang ditembakkan Meg. Aku duduk dan diam terpaku di hadapan mayat Meg dengan panah menancap di lehernya. Aku menoleh ke arah sumber tembakan, dan tepat di sebelah kananku seorang perempuan duduk dan hendak membantuku berdiri. Malaikat penyelamatku, si tentara bermata merah jambu dari Area 94.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Tidak, aku sangat buruk. Ada mayat di depanku." Aku melirik ke belakang Tira, mencari satu orang lagi yang seingatku pergi bersamanya. "Di mana Amein?"

Tira mengabaikanku. Ia hendak membantuku berjalan, tapi karena tidak mendapatkan jawaban aku mendorongnya menjauh. Dia tidak mungkin membunuhnya, bukan? Tira menutup kedua mata Meg sambil terus berusaha menghindari kontak mata denganku.

"Tolong jangan katakan—"

"Tidak, kami tidak membunuhnya," balas Tira cepat. Aku merasa lega mendengarnya, tapi perasaan bersalah yang menyelimuti Tira membuatku kembali penasaran. Apa yang terjadi pada Amein? Tira menarik napas, lalu berujar pelan. "Setelah kami dan bocah itu kabur dari hutan, kami bersembunyi di sebuah rumah kosong, menunggu waktu yang tepat untuk keluar. Kami pergi untuk memeriksa keadaan dan mencari persediaan makanan, kalau-kalau situasi memaksa kami untuk tinggal sedikit lebih lama. Kami meninggalkannya di rumah itu, karena ia masih belum sadarkan diri. Selain itu, kami yakin tempat itu aman, dan kami juga tidak akan pergi jauh. Tapi saat kami kembali, dia sudah menghilang, meninggalkan tali yang mengikatnya."

"Jadi maksudmu, ada yang menculik Amein?" Aku merasa kesal mendengar penjelasan Tira. Bukankah seharusnya ia menjaganya? Apa pun alasannya, seharusnya mereka tetap bersama, terlebih dengan keadaan Amein yang sangat rapuh. "Aku tidak percaya kamu melakukan itu, Tira. Bagaimana kalau saat ini dia sedang disiksa untuk mencari tahu informasi kita? Bagaimana kalau dia sudah dibunuh? Astaga, aku benar-benar pembawa sial. Tidak seharusnya dia berakhir seperti ini, dan aku malah menjerumuskannya ke neraka."

"Ini bukan salahmu, adik Sebastien."

"Berhenti memanggilku begitu!" Aku menepis tangan Tira yang hendak memberikan penenangan, dan aku menatap mata merah jambunya dengan amarah dan rasa kecewa. "Ya, ini bukan salahku. Ini semua salah Nolan dan Nenekku yang membangun jalan takdir untuk aku lalui, menaruh beban yang tidak bisa mereka pikul sendiri ke punggungku, tanpa sedikit pun memikirkan aku yang dijadikan tumbal. Semua ini tidak ada gunanya, dan aku... aku..."

BUM! BUM! BUM! BUM! BUM! BUM!

Ledakan demi ledakan terdengar dari tiap sudut. Aku dan Tira menatap langit, dan belasan hingga puluhan pesawat pembawa bom berada di atas kami. Mata Tira berubah ngeri, ada teror yang menyerangnya bersamaan dengan jatuhnya tiap bom. Area 92. Kota yang hancur karena perbuatannya. Darah tiap penduduk di kota itu ada di tangannya, dan suara ledakan itu mengembalikan Tira ke tempat mengerikan tersebut. Aku belum sempat termakan rasa bersalah itu, karena instingku langsung berteriak keras, memerintahkan aku untuk kabur dan mencari tempat aman. Aku menarik Tira dan membantunya berdiri, menanyakan padanya apakah ada tempat aman di sekitar sini. Tira masih terpaku menatap langit, tapi matanya kosong tertelan mimpi buruk yang masih menggerogotinya dengan cepat. Aku tidak punya pilihan selain menariknya sendiri, ke arah yang tak menentu selama itu bukan di sini. Kami terus berlari sambil sesekali mencari celah yang bisa digunakan untuk bersembunyi. Jika dengan segala keberuntungan aku bisa selamat dari tembakan di kepala, maka ledakan bom tidak akan menjadi akhir hidupku. Aku tidak akan membiarkannya.

Legenda Bintang Hitam: AREA 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang