18. Malaikat Pelindung

26 11 2
                                    

Setelah aku sarapan bersama Amein, kami langsung bersiap-siap menuju toko daging milik Pierre, yang sekaligus merupakan markas persembunyian Pemberontak Bintang Hitam. Aku mengenakan kemeja biru laut dan celana jin hitam dengan terburu-buru. Kami harus cepat-cepat pergi dari rumah sebelum Sebastien pulang, untuk menghindarkannya dari Amein. Aku merasa akan lebih baik kalau pertemuan pertama Sebastien dan Amein dihadiri pula oleh Meg, karena aku akan sangat membutuhkan bantuan dalam menjelaskan semua ini. Aku keluar kamar dan Amein sudah menunggu di ambang pintu. Aku menghampirinya dan berlutut memasang sepatu bot cokelatku. Setelah selesai, aku langsung berdiri dan menarik Amein keluar dari rumah.

Saat kami sampai di toko daging Pierre, si pemilik tidak terlihat batang hidungnya. Aku bergegas ke dalam ruang pendingin dan membuka pintu rahasia. Aku mendengar suara perempuan yang sedang mengobrol, tapi aku tidak bisa mendengar dengan siapa dia bicara. Aku meminta Amein untuk berjaga di dalam toko, dan segera memberitahuku kalau ada hal mencurigakan yang terjadi, selagi aku memeriksa siapa yang ada di dalam ruangan rahasia.

Di bawah cahaya lampu, aku melihat siluet mereka. Seorang perempuan berambut hijau sedang berbicara dengan seseorang yang tidak bisa aku lihat jelas. Aku bersembunyi di balik kotak-kotak kayu, mengintip Tira yang tidak terlihat menikmati percakapan ini. Aku memicingkan mata, berusaha melihat siapa orang yang diajaknya bicara, dan aku nyaris berteriak saat melihat topeng hitam yang tidak bisa aku lupakan.

Sige. Tira sedang berbicara dengan si pria bertopeng yang sedang memburuku, dan ini adalah pertanda yang sangat buruk. Mereka terlihat akrab, seolah-olah Tira sudah mengenalnya sejak lama. Apakah Tira juga merupakan anak buah Sige yang dibawanya dari Vahan? Siapa Tira sebenarnya?

Keadaan berubah cepat menjadi mimpi buruk. Karena terlalu fokus pada Sige, aku tidak sadar kalau Tira tengah mengunci pandangannya padaku. Aku tersentak ketika tersadar dan melompat ke belakang, terkejut pada bagaimana mata merah jambunya bisa memberikan teror yang sebegitu mengerikannya. Tira berjalan cepat ke arahku, dengan pistol di genggaman tangannya terarah tepat ke keningku. Aku berlari menuju tangga, tapi satu tembakan darinya sukses menembus paha kiriku, dan aku seketika jatuh ke tanah. Suara tawa menggelegar saat Tira duduk di atas punggungku, dan ujung pistol yang panas menempel di pelipis kananku.

"Adik Sebastien ternyata orang yang suka menaruh hidungnya di urusan orang lain." Desisnya. Ia mendekati telinga kiriku, lalu membisikkan ancaman padaku. "Tidak baik menguping orang lain. Kami harus menghukummu. Tidak baik. Harus hukum. Kami. Hukum."

Tiba-tiba saja Tira menggigit telinga kiriku. Aku berteriak kesakitan, tapi Tira tidak melepaskan gigitannya. Aku mulai meronta, berusaha memukul kepalanya, tapi itu tidak mengubah apa-apa. Gelak tawa terdengar nyaring, Tira terlihat sangat terhibur dengan semua ini. Darah mulai mengucur deras membasahi telinga kiriku hingga ke seluruh wajah. Lubang telinga kiriku digenangi darah yang membuatku sulit mendengar kata-katanya. Aku terus mendorong kepalanya dengan tenaga yang aku punya, berusaha semampuku untuk melepaskan gigitannya yang semakin dalam. Ketika darah mulai menyentuh hidung dan mataku, kepalaku langsung berputar hebat. Bau darah membuatku mual, dan rasa sakit yang tak kunjung hilang membuat kepalaku ikut sakit. Pandanganku kabur dan tubuhku tidak lagi mampu bergerak. Sepertinya aku akan pingsan. Pintu keluar adalah hal terakhir yang aku lihat sebelum kesadaranku menghilang. Cahaya dari atas yang sedikit menyinariku, dan munculnya bayangan besar dari sana. Siapa itu? Amein? Atau Sige? Tidak. Tubuh mereka tidak sebesar siapa pun itu. Aku berusaha berteriak minta tolong, tapi tidak ada suara yang keluar.

Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.

Semua terjadi begitu dalam kurun waktu yang relatif singkat. Aku tak sadarkan diri, pandanganku gelap dan aku tidak bisa merasakan sekitarku. Rasanya seperti melompat dari gedung pencakar langit dan terus terjatuh, tanpa ada dasar yang menangkap. Tiba-tiba saja aku bangun dan Amein berdiri di sampingku, terlihat sangat khawatir akan keadaanku. Aku nyaris terbawa arus masa lalu dan mengira kalau Amein yang ada tepat di samping kananku adalah Amein sahabat baikku. Tapi, aku segera disadarkan realitas bahwa mereka adalah dua orang yang sangat berbeda. Amein yang ini memang bukan sahabatku, tapi dia juga bukan orang yang berusaha membunuhku. Itu harus dianggap sebagai hal bagus, bukan?

Legenda Bintang Hitam: AREA 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang