27. Dua Pintu

83 12 3
                                    

Setelah melewati lorong gua yang seolah tak berujung, kami dihadapkan dengan pintu baja yang tertutup rapat. Di samping kanannya terdapat sebuah kotak untuk memasukkan sandi. Sebastien menekan beberapa tombol, dan terdengar kunci pintu itu terbuka. Sebastien membuka pintu dan di baliknya adalah sebuah ruangan bawah tanah besar dengan sebuah monitor raksasa dan beberapa komputer canggih terpasang. Ada banyak lubang di ruangan, yang aku duga merupakan cabang untuk ke ruangan lain yang entah berisi apa. Aku tidak bisa percaya ada tempat seperti ini di Area 93. Membayangkan Area 93 yang bau, kotor, dan tidak terurus membuatku tidak pernah membayangkan kalau ada sisi lain dari Area ini. Sebuah tempat persembunyian modern, kokoh, dan canggih yang luar biasa luas dan dihuni oleh banyak sekali orang yang aku duga merupakan bagian dari Pemberontak Bintang Hitam yang selamat.

Beberapa orang langsung menoleh ke arah kami begitu mendengar suara pintu besi terbuka, dan kebanyakan mereka memiliki wajah yang asing dengan warna mata berbeda-beda. Mataku menjelajah tiap sudut ruangan hingga menemukan sosok familier sedang duduk dan melahap roti lapis. Aku segera menghampirinya, menyapanya dengan senyum.

"Remilia? Kamu selamat?" Pemuda itu langsung memelukku, ia terlihat lega melihatku hidup. Aku membalas pelukannya, sejujurnya merasakan hal yang sama.

"Senang melihatmu lagi, Rome," balasku berusaha tidak menangis. "Aku pikir kalian semua tewas di kereta."

"Ya, tidak, kami selamat dari ledakan itu." Rome membisu seketika, ekspresi wajahnya berubah cepat. "Tapi tidak semua berhasil."

"Apa maksudmu?"

"Mox tidak selamat," ucap Rome pelan. Ia kemudian bercerita bagaimana Mox mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Rose dan Rome, dua orang yang seumur hidupnya tidak pernah berada dalam situasi menantang maut seperti itu. Tubuhnya tertancap lempengan besi, dan sesampainya di gua persembunyian, nyawa Mox sudah tidak tertolong. Saat ini, Rose sedang mengurung diri di ruangan operasi, masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tidak tahu harus mengatakan apa, karena aku tidak mengenal Mox seperti mereka mengenalnya. Tapi aku percaya kalau dia adalah pria yang baik dan berhati mulia. Aku memberikan Rome pelukan lagi dan meninggalkannya untuk kembali ke Sebastien. Aku tidak membicarakan soal Mox dengan Sebastien maupun Tira. Mereka yang dekat dengan Mox punya caranya sendiri untuk berduka, dan aku rasa Mox pun tidak ingin mereka berlama-lama sedih, karena pada kenyataannya perjuangan ini masih jauh dari kata selesai.

Monitor raksasa menyala dan menayangkan sebuah siaran langsung dari Kota Slare, di mana terpampang Presiden Republik Fyra saat ini, Robert Arpes, didampingi oleh seorang Jenderal Slare yang wajahnya sangat aku kenal. Thomas Parre, suami dari Margaret Nacis dan Ayah dari Amein.

"Warga Republik Fyra, di hari yang berbahagia ini saya ingin menyampaikan perasaan duka yang sedalam-dalamnya untuk Jenderal Parre, atas meninggalnya sang Istri, Margaret Nacis, dalam insiden yang terjadi di Area 93." Wajah Presiden Arpes yang pucat bagaikan mayat memberikan kesan mengerikan tersendiri. Rambutnya yang berwarna hitam legam, dan bibirnya yang semerah darah membuatku tak sanggup menatapnya untuk waktu yang lama. "Nyonya Nacis adalah seorang yang tangguh dan selalu berusaha memperjuangkan kesetaraan di Republik Fyra ini, kerap kali terlibat dalam acara amal dan selalu turut serta membantu mereka yang membutuhkan. Nyonya Nacis ditemukan tewas di Area 93 saat terjadi insiden pemberontakan besar-besaran yang dilakukan oleh warga Area 93. Berdasarkan informasi yang didapat dari kamera pengawas, Nyonya Nacis tewas dibunuh oleh seorang gadis dari Area 93, dan berikut adalah foto dari tersangka."

Kami semua terdiam setelah layar monitor menunjukkan foto gadis bermata ungu sebagai tersangka pembunuhan. Foto itu, tanpa keraguan sedikit pun, adalah fotoku. Mereka mengambilnya dari administrasi SMA Pistrock. Sebastien menatapku tak percaya. Aku membalas tatapannya sebelum tubuhku melemah dan aku hampir jatuh pingsan. Beruntung di sampingku ada Tira yang dengan sigap menahanku.

Legenda Bintang Hitam: AREA 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang