08. Gaun Biru

48 16 1
                                    

Hari ini hujan deras, dan udara dingin yang menusuk tulang perlahan-lahan merayap merasuki tubuhku. Aku terbangun dari tidur terburukku. Firasatku mengatakan kalau hari ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan dan penuh siksaan. Aku meregangkan tubuh beberapa kali sebelum benar-benar menyadarkan diri. Mataku mulai memeriksa keadaan sekitar, hingga perhatianku terpaku pada segelas susu hangat dan sepiring biskuit di meja yang ada di samping kiriku.

Wajah Sebastian muncul dari balik pintu dan mengejutkanku. Aku tidak mau mengakuinya, tapi senyum jahilnya adalah hal yang akan aku rindukan. Ia masuk dan duduk di kasur, lalu menyentil keningku sambil tertawa. Aku mengerang kesakitan dan mengutuk perbuatannya. Untuk pagi sedingin ini perbuatannya sangat keterlaluan. "Ayo bangun, kecuali kamu mau menjadi adik yang buruk buatku."

Aku hanya mengejeknya dengan memutar bola mata dan kembali menjatuhkan diri di atas kasur. Sebastian menghela napas dan berjalan keluar. Aku sempat mengintipnya sebelum pintu tertutup, pakaiannya rapi sekali. Ia mengenakan setelan jas putih dengan bunga mawar merah di kantongnya. Sepertinya hari ini adalah hari yang spesial bagi Sebastian, tapi aku tidak ingat hari apa ini. Ulang tahun? Tidak, caranya merayakan ulang tahun tidak seperti ini. Biasanya ia hanya mengajakku makan malam untuk merayakan ulang tahunnya, dan sekarang fajar baru menyingsing. Pernikahan? Mustahil, aku tidak mungkin melupakan pernikahan. Lagi pula, setelah hubungannya dengan Irene, aku tidak akan terkejut kalau ia masih belum siap memulai hubungan kembali. Jadi, apa ya? Ah, aku terlalu pusing untuk berpikir. Apa pun yang ia rayakan, aku turut senang, deh. Sekarang saatnya aku tidur kembali. Bukan hal yang bijak bangun pagi di hari Minggu. Aku menarik selimut dan menutupi setengah tubuhku, bersiap untuk kembali ke dunia mimpi. Lalu satu hal terlintas di kepalaku, membuatku seketika lompat dari kasur.

"ASTAGA! Hari ini!" Aku melihat keadaan sekeliling dengan lebih waspada. Dengan terbirit-birit aku turun dari kasur dan berlari ke luar kamar. Aku nyaris melompat ke belakang saat membuka pintu, karena wajah Sebastian langsung ada di hadapanku, tertawa terbahak-bahak. Aku memukul bahunya sambil diam-diam berharap ada yang mau menukar kakak laki-lakiku dengan perak. Ya, aku akan menjual orang menyebalkan ini.

"Kamu sudah ingat?" Tanyanya. Aku tertunduk malu, lalu mengangguk pelan. Rasa kesalku langsung berubah menjadi rasa bersalah. Aku tidak percaya aku bisa melupakan hari penting seperti ini. Sejak kapan aku jadi seorang yang pelupa begini? Hari ini adalah hari paling spesial bagi Sebastian, bahkan bagi keluarga kami. Pada hari ini Sebastian akan dilantik sebagai salah satu dari sembilan ksatria perak, pengawal pribadi Walikota Soulpoem. Hari ini akan mengubah hidup kami berdua menjadi lebih baik, dengan kebutuhan finansial yang teratasi serta lingkungan sosial yang jauh lebih baik. Berani-beraninya aku melupakan hari krusial ini. Aku menatap Sebastian yang masih tersenyum jahil, lalu memukulnya lagi, berusaha menyembunyikan rasa bersalah yang menyelimutiku.

"Awas, aku mau mandi. Kamu enggak mau kita terlambat, bukan?" Bentakku, yang langsung diejek oleh Sebastian. Ia kemudian memberi jalan, tapi tidak secara cuma-cuma. Saat aku melewatinya, Sebastian menjitak kepalaku, dan aku langsung memukul perutnya sebagai pembalasan. Kami berdua kesakitan, tapi begitulah cara kami menunjukkan kasih sayang satu sama lain. Setelahnya, gelak tawa menggantikan erangan rasa sakit.

Aku segera ke kamar mandi, membersihkan diri dan menggunakan wewangian terbaikku. Dengan masih mengenakan handuk, aku berlari ke meja makan dan mengambil sepotong roti bakar untuk dibawa ke kamar. Aku harus melakukan dua hal bersamaan agar tidak terlambat, dan sampai mati pun aku tidak akan pernah mau makan di kamar mandi. Itu menjijikkan,

Lemari pakaian langsung kubuka sesampainya aku di kamar. Roti bakar kugigit sembari aku mengeluarkan gaun-gaunku dan meletakkannya di kasur. Aku berteriak memanggil Sebastian, yang perlu waktu lama untuk sampai ke kamarku. Dasar, aku sedang buru-buru dan dia malah santai saja. Aku menunjukkan dua gaun panjang padanya, yang satu adalah gaun putih tanpa lengan, sedangkan yang satunya adalah gaun berlengan pendek berwarna hitam polos. Aku bertanya tegas, menunjukkan keseriusanku. "Yang mana?"

Legenda Bintang Hitam: AREA 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang