24. Jamuan Minum Teh

32 13 1
                                    

Kalian pernah bermimpi? Sadarkah kalian dalam dunia mimpi, tidak pernah ada awal atau akhir cerita. Kita muncul di tengah-tengah situasi, dan entah bagaimana kita sudah memahami apa yang terjadi. Sering kali keanehan dalam mimpi terasa masuk akal, sampai tidak sekalipun kita mempertanyakan hal-hal yang terjadi di mimpi saat itu. Mungkin kita baru mempertanyakan mimpi itu saat kita terbangun. Kurasa ini adalah usaha terbaikku menggambarkan situasiku dengan Ratu Lucia saat ini, yang sedang duduk di sampingku dengan secangkir teh di tangan.

Kami sedang berada di beranda Istana Berlian, duduk memandangi Kota Astrea ditemani teh dan kue kering. Ratu Lucia memandang jauh ke angkasa, membuatku penasaran apa yang sedang ada di benaknya.

"Aku hanya senang membayangkan saat semua masih sederhana," jawabnya lembut. Ia mengambil kue kering dan mencelupkannya ke teh, kemudian ia melupakannya seketika. "Dunia lebih menyenangkan dulu. Banyak tawa, kehangatan, dan keramahan. Astrea masih memiliki tawa di dalam kehidupannya yang mewah dan penuh kekayaan, tapi kehangatan dan keramahan itu sudah punah bertahun-tahun yang lalu."

"Tidakkah kamu ingin itu kembali?" Ratu Lucia melirikku sesaat, lalu kembali terpaku oleh langit biru Vahan yang sejuk. "Kehangatan dan keramahan, tidakkah kamu ingin itu kembali?"

"Jika dunia masih sederhana seperti dulu, mungkin aku sudah melakukannya. Tapi, dunia yang sekarang terlalu rumit dan banyak syaratnya. Sulit membahagiakan semua orang secara bersamaan." Ratu Lucia meletakkan cangkir teh dengan kue kering yang larut di dalamnya. Ia bangkit berdiri dan berjalan ke ujung beranda, lalu duduk di salah satu anak tangganya. "Pada akhirnya aku hanya bisa mengendalikan kebahagiaan satu orang, yaitu kebahagiaanku sendiri."

Ratu Lucia menepuk samping kanannya, memintaku untuk duduk bersamanya. Aku duduk dengan ragu, sambil tetap membawa cangkir teh yang sejak tadi belum aku minum. Dalam keadaan langit dan udara yang bagus, napasku justru sesak. Aura tempat ini tidak seindah kelihatannya. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya, tapi aku tidak suka tempat ini.

"Apa ada sesuatu yang mengganggumu, Remilia?"

"Entah lah. Aku merasa sangat tidak nyaman, tidak tahu kenapa." Aku memberikan jawaban yang jujur, sesuai dengan apa yang aku rasakan saat ini, yaitu rasa tidak nyaman tanpa sebab yang mengganggu pikiranku. Ratu Lucia tidak menanggapi jawabanku. Tangannya bergerak perlahan ke punggungku, lalu ia mengusapnya dengan hati-hati.

"Aku menyukaimu, Remilia, cucu dari Gadya. Kamu orang yang jujur, terlihat jelas dari matamu." Jemarinya bergerak pelan, berpindah dari punggung menuju pipiku. Matanya berkaca-kaca, aku tidak tahu kenapa. "Maukah kamu berjanji padaku, Remilia?"

"Janji apa?"

"Di masa depan, kita akan bertemu dalam keadaan yang berbeda. Mungkin, pertemuan itu tidak akan seperti ini, tenang dan menyenangkan. Bahkan, aku yakin akan ada banyak darah yang tumpah di saat itu, dengan nyawa orang-orang tak bersalah harus melayang." Ada keraguan dari gerak bibir Ratu Lucia, tapi ia tetap meneruskan. "Berjanjilah padaku, sampai saat itu tiba, kita akan selalu jujur satu sama lain. Tidak ada satu pun kebohongan yang keluar dari lidah kita. Besar ataupun kecil."

Aku tidak mengerti kenapa Ratu Lucia memintaku untuk menjanjikan hal itu. Ada misteri yang rasanya tidak akan bisa aku mengerti sampai tiba waktunya. Rahasia yang meskipun terbongkar, tidak akan memiliki arti apa-apa karena keterbatasan pengetahuan orang yang membongkarnya. Tapi, itu bukan alasan untuk menolak permintaannya. Jadi, tanpa alasan yang kuat untuk menolak, aku mengiyakan permintaannya. "Aku berjanji, Ratu Lucia, kita akan selalu jujur satu sama lain."

"Terima kasih, Remilia. Karena sejujurnya, aku sangat menikmati pertemuan-pertemuan kecil kita ini. Pertemuan ini menyenangkan. Senang bisa mengobrol dengan seseorang dari luar, seseorang yang mengerti soal keadaanku."

Legenda Bintang Hitam: AREA 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang