25. Mana Cahaya, Ahka

38 10 1
                                    

Jika Remilia di saat ini bertemu dengan Remilia dari beberapa minggu yang lalu dan menceritakan apa yang terjadi padanya di masa depan, apakah Remilia dari masa lalu akan percaya? Kemungkinan besar tidak, tapi bagaimana jika ia percaya? Apa yang akan dia lakukan di posisinya saat itu? Sebagai seseorang yang mengetahui bahwa dalam waktu dekat hidupnya akan berubah 180 derajat ke arah yang bisa dibilang jauh lebih buruk, sepertinya mustahil dia akan diam saja dan menerima nasibnya. Aku rasa dia akan menaiki kereta entah ke mana, mungkin Area Empat atau Delapan, dan berusaha menjauhi kehidupan lamanya sebisa mungkin. Di Area Empat dia bisa bekerja di toko roti, sesuatu yang cukup ia kuasai berkat Tom. Kalau dia memilih Area Delapan, dia bisa sedikit mengingat bagaimana Aliqua sebagai Kota hiburan, dan mungkin ia akan terjun ke dunia hiburan juga? Area lain sulit menjadi pilihan, karena hanya dua Area itu yang setidaknya cukup dekat dengan keahlian yang dimilikinya. Tapi kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah ia akan percaya kisah penuh sihir dan hal-hal tidak masuk akal yang hanya pernah ia dengar dari dongeng karangan Ibunya?

Yah, saat itu aku percaya, jadi kenapa Remilia di masa lalu harus tidak percaya? Toh, pada akhirnya kita sedang membicarakan orang yang sama, bukan?

Ayolah, Remilia, sekarang bukan waktunya untuk membayangkan bagaimana jika. Itu tidak ada gunanya. Pada kenyataannya, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa lalu tidak akan mengubah keadaan, karena keputusan itu sudah diambil saat itu. Urutannya sudah terbalik sedari awal. Yang bisa aku lakukan sekarang adalah memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang.

Sekarang? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku bahkan tidak tahu di mana aku. Sejak tadi aku hanya berdiri di ruangan putih tak berujung, kosong dan mencekam. Tempat apa ini? Surga? Apakah aku sudah mati? Jangan bodoh, Surga tidak mungkin sepolos ini, bukan? Tapi, aku tidak pernah ada di Surga, jadi bisa saja ini adalah bentuk Surga sebenarnya. Jadi, apakah ini Surga?

Aku mencoba berjalan mencari jalan keluar—atau apa pun yang bisa aku temukan, dan itu rasanya buruk. Kepalaku sakit ketika berjalan. Tempat ini terlalu polos, bahkan otakku tidak bisa membedakan apakah aku sedang benar-benar berjalan atau hanya diam di tempat. Ini buruk. Tempat ini buruk dan itu membuatku tidak nyaman. Beberapa kali aku merasa akan terjatuh ke lantai. Masalahnya di sini adalah aku berjalan tanpa arah, tidak ada titik yang dijadikan tujuan. Aku buta di sini, tidak punya arah dan tersesat seperti anak kecil.

Dari kejauhan aku mendengar suara yang bergema. Bukan suara seseorang, lebih ke suara hewan. Suara burung. Sangat nyaring, dan ada amarah dalam suaranya. Aku mengikuti jejak suara itu, dan aku tahu kalau aku berada di jalur yang tepat karena seiring dengan tiap langkahku, suara itu semakin membesar. Bahkan aku sampai ke saat di mana telingaku mendengung, tertekan dan rasanya sakit sekali. Semua terasa semakin buruk karena aku hanya telinga kananku yang benar-benar berfungsi, dan aku takut rasa sakit ini akan merenggut pendengaranku seluruhnya. Tapi aku tidak bisa berhenti di sini. Apa pun yang ada di sumber suara, itu akan menjadi harapanku untuk mengetahui di mana ini sebenarnya.

Aku mulai menemukan titik terang saat sebuah benda besar mulai terlihat di ujung sana. Aku tahu titik terang bukan ungkapan yang tepat di tempat seperti ini, tapi memang tidak terpikirkan olehku ungkapan lain yang bisa aku gunakan. Aku langsung mempercepat langkahku, berharap menemukan jawaban sesampainya aku di sana. Anehnya, suara nyaring burung itu mulai mereda setelah aku melihat benda itu. Aku sih tidak akan protes, karena itu bagus untuk telingaku. Mereka butuh istirahat sekarang.

Semakin aku dekat dengan benda itu, semakin jelas terlihat benda apa itu sebenarnya. Sebuah sangkar burung raksasa yang terbuat dari besi. Ukurannya sama seperti yang ada di ruangan berdarah Ratu Lucia. Di dalam sangkar itu terdapat seekor burung berukuran besar yang sedari tadi memberontak dengan keras. Ia berteriak dengan ganas, mendobrak sangkar itu dan berusaha menghancurkannya agar bisa keluar. Aku berdiri di hadapan jeruji itu, mengunci pandangan pada burung yang entah bagaimana sangat aku kenal. Burung itu balas menatapku, dan kepakkan sayapnya melambat. Ia pun bertengger di sebuah kayu besar di tengah sangkar, diam membatu. Suara lembut terdengar di kepalaku, memintaku untuk memanggil namanya. Sebut namaku. Siapa aku? Tahukah kamu siapa aku?

Legenda Bintang Hitam: AREA 93Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang