29 | Spät

555 35 6
                                    

"Sebenarnya kita ini musuh atau teman yang bersembunyi dibalik ikrar tersebut? Seharusnya sesama musuh itu saling menjatuhkan, bukan saling melindungi."

🍭🍭🍭

"Aaah, gue masih ngantuk."

Jam beker mungil yang menjadi sasaran kemarahan Athilla itu kini telah tergeletak dengan mengenaskan di bawah bantal. Athilla yang kesadarannya hanya setengah itu memutuskan untuk kembali tidur. Ia tak berpikir bagaimana dampak dari kelakuannya ini.

Jarum jam terus berjalan seiring detiknya, dan saat jarum panjang sudah sampai di angka 9, gadis yang sedari tadi masih bersembunyi dibalik kasur itu akhirnya terbangun dari tidur. Cahaya yang mengenai mata membuat Athilla mengucek matanya. Ia meraba-raba sekitarnya lalu membuka matanya lebar-lebar saat menemukan benda yang sedari tadi ia cari.

"ANJIR, GUE TELAT DONG!"

Athilla menyingkap selimut dengan kasar lalu berlari menuju kamar mandi. Ia melakukan segalanya dengan tergesa-gesa karena tak mau terlambat datang ke sekolah.

Kalau ia mengharapkan Ratna, rasanya tak mungkin karena gadis itu pasti sudah duduk manis di dalam kelas sambil menunggu guru jam pertama hadir. Dengan terpaksa, ia berjalan menuju sekolah namun sesekali ia berlari. Akan sangat tidak mungkin jika ia berangkat menggunakan bis karena itu akan memakan waktu yang lama.

Biasanya dari asrama ke sekolah hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit, kini Athilla sampai di depan gerbang sekolah dalam kurun waktu 30 menit.

"Pak, huh... b-buka gerbangnya. Huh huh..."

Sial, satpam di sekolahnya itu sepertinya tidak mendengar seruan Athilla karena ia tengah menyirami tanaman sambil menyenandungkan irama lagu dangdut yang sedang tren. Apalagi saat ini telinga satpam sekolahnya itu tengah disumpal earphone.

Athilla merutuki dirinya yang ceroboh. Seharusnya tadi ia tidak melanjutkan tidurnya. Bodoh.

"Sst... Sst... Woi!"

Sebuah suara seperti orang sedang mendesus itu bisa terdengar oleh telinganya. Ia celingukan mencari tahu siapa yang mengeluarkan suara tersebut.

"Di sini, La!"

"Siapa?" tanya Athilla.

Saat Athilla menengok ke kiri, matanya bersitatap dengan mata Dave yang menatapnya sambil tersenyum lebar.

"Hayo, lo telat yaa?" tanya Dave dengan sedikit menggoda.

"Lo pikir aja kenapa gue bisa berdiri di sini sambil bawa tas padahal jam pelajaran pertama udah dimulai."

Dave mengernyitkan dahinya, tanda ia sedang berpikir. "Lo bolos? Wah, bisa-bisanya ce-"

Buru-buru Athilla membekap mulut lawan bicaranya. Ia tak mau jika seseorang mengetahui keberadaan keduanya yang masih di luar gerbang sekolah.

"Bego, lo mau kita ketahuan guru yang lagi patroli?"

Dave tersenyum miring. "Lo aja, gue mah tahu gimana caranya biar nggak dihukum."

Laki-laki itu semakin tersenyum lebar tatkala melihat gadis di hadapannya kini telah melepaskan bekapannya dan menatapnya dengan tatapan penuh keingintahuan. Merasa mendapat sinyal, Dave pun menggamit lengan Athilla, mengajaknya menuju suatu tempat yang biasa ia datangi saat terlambat datang ke sekolah.

Tembok tinggi yang menjulang tinggi serta dihiasi lumut dan coretan para pelaku street art itu kini telah menyambut kedatangan keduanya. Athilla yang memiliki prasangka buruk terhadap laki-laki di sebelahnya yang masih menggenggam tangannya itu, menginjak salah satu kaki Dave yang dilapisi sepatu berwarna dominan hitam.

HUMORISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang