Kelas Sembilan

3 0 0
                                    

Hari itu benar-benar membuatku banyak belajar. Mulai dari karakter siswa, penguasaan kelas, sistem mengajar, dan lainnya.

Mental down saat itu wajar saja. Sebagai seorang 'newbie' hal itu ppastilah terjadi. Toh juga aku baru satu kali di sana. Maklum, masih proses penyesuaian.

***

Mengajar di kelas sembilan bukanlah hal yang menakutkan. Pikiranku salah. Mereka asyik. Aku senang atas sikap mereka. Secara cepat, aku bisa 'ngobrol asyik' dan akrab dengan beberapa di antara mereka.

Nampaknya juga mereka juga senang akan kehadiranku sebagai guru pengganti. Hampir semua siswa di kelas itu memperhatikanku. Hanya satu atau dua orang saja bersikap biasa saja. Ya, mungkin mereka yang biasa saja ini, memanglah sudah menjadi dasar karakternya. Banyak nama-nama mereka yang aku ingat. Mereka unik. Beberapa nama yang membekas di ingatanku sampai saa ini.

Revi, murid bercadar yang sangat reaktif kepadaku. Entahlah, mungkin saat dia melihatku dengan penampilan seperti itu, dia merasakan ada 'teman'. Maklum saja, anak-anak di kelasnya hanya memakai kerudung seadanya. Saat di luar sekolah, malah mengumbar aurat. Anak bercadar satu ini, suka cari muka. Tak heran para guru mengenalnya dan sering diandalkan untuk melakukan suatu kegiatan. Sampai sekarang, kami tetap menjalin silahturahmi. Dia sering bertanya kepadaku. Baik saat sekolah ataupun di sosial media. Banyak hal yang kami bagi, terutama tentang agama kami.

Ada pula Brades, Ayu, Anggie, dan Musya. Mereka ini adalah teman satu geng. Mereka duduk besebrangan. Keempat anak ini adalah anak yang rajin mengumpulkan tugas. Mereka juga aktif di kelas. Kami juga sering bercanda bersama. Apalagi Musya, anak ini sangat manis. Dia kerap kali menggodaku.

Siswa lainnya yang berkesan adalah Edo dan Habim. Aku terkesan karena kenakalan mereka. Mereka adalah pembuat onar di kelas. Edo dan Habim adalah teman sebangku. Edo lebih ceriwis dibandingkan Habim. Entah mengapa saat tiap kali aku masuk ke kelas, anak-anak yang lain mulai melirik kepada Habim dan serempam berkata "ciyeeee ... Habim." Ya, setiap kali aku masuk ke sana. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Aku yang penasaran bertanya kepada mereka. Ada apa sebenarnya? Kok seperti ini responnya? Jawaban mereka membuatku tertawa. Rupanya, Habim memiliki pacar yang namanya sama sepertiku. Ya Allah, ada- ada saja mereka ini. Habim menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya karena itu. Tapi, anak berkuping caplang ini datar saja. Karena sudah seperti itu kondisinya, aku sengaja mendekati Habim. Tak jarang aku memujinya. Anak yang lain bertambah heboh. Ya, itu aku suka. Menurutku, dengan adanya pendekatan seperti ini, untuk Habim yang tidak aktif di kelas akan menjadi tantangan tersendiri. Aku sering menantang Habim untuk mengerjakan soal di depan. Kalau ia tidak bisa, aku akan mengarahkannya. Tidak hanya kepada Habim saja, semua siswa jika mengalami hal serupa akan aku perlakukan sama. Pembelajaran secara langsung di depan kelas seperti itu akan lebih membekas, dibandingkan hanya menciba di buku tulis saja. Selain menguji pemahaman, itu juga akan menambah keberanian dakam diri siswa. Iya, itu caraku.

Terkasang aku juga sering bertingkah 'konyol' di kelas. Aku sering kali menggunakan bahasa ter-update saat itu di saat pembelajaran mulai terasa membosankan. Ini menjadi daya tarik, mereka yang terlihat lesu, menjadi lebih semangat. Selain bahasa 'hits' tadi, aku juga sering manjadikan diriku sebagai objek 'pem-bully-an. Ya, itu yang aku lakukan untuk memecah keheningan dan menambah keakraban. Aku dan mereka menjadi sangat dekat. Mereka menjadi kelas favoritku.

Newbie TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang