Nilai Semester

0 0 0
                                    

Drrrt ... drrt ... drrrrt ....
Gawaiku bergetar secara kontinu di iringi ringtone khusus dari sebuah grup. Aku sudah mengaturnya. Tanpa melihat, aku tahu itu. Itu notifikasi dari grup guru di sekolah.

Tumben sekali grup ramai. Biasanya hanya sepekan sekali ia berbunyi. Ternyata, undangan rapat kenaikan kelas dari kepala sekolah langsung. Hmmm ... pantas saja. Grup dipenuhi oleh respon para guru. Rapat yang cukup mendadak. Bukan mendadak, hanya saja tak terlalu di umbar. Memang sebelumnya kepala sekolah sudah memberi informasi bahwa rapat akan di adakan dalam waktu dekat.

Waktu yang tersisa sebelum rapat hanya dua hari saja. Aku belum melakukan rekapitulasi nilai para siswa. Malam itu, aku bergegas untuk melakukan rekapitulasi. Aku beruntung, buku harian kelas ada di rumah.

Sudah menjadi rutinitas tiap akhir pelajaran setiap guru harus menyetor nilai mata pelajarannya pada wali kelas masing-masing. Ah ... sudah satu semester saja aku berada di sini. Tapi apa? Visiku belum berjalan dengan baik. Oke. Mulai semester depan harus lebih baik lagi.

***

Meskipun buku harian ada di tangan, aku masih juga kebingungan. Banyak nilai-nilai yang kosong. Ini terjadi karena banyaknya peralihan guru. Penilaian semester ini kacau. Jika hanya mengandalkan hasil ujian sekolah mereka saja, tentu itu tak sesuai. Aku juga harus menyesuaikannya dengan keseharian mereka di kelas.

Saat itu, aku mengampu tiga kelas. Kelas tujuh, kelas delapan, dan kelas sembilan. Kira-kira ada sembilan puluh anak lebih yang harus aku pikirkan satu persatu. Waktu tiga bulan masih kurang dalam mengingat nama mereka.

Aku mencoba melakukan penilaian se-objektif mungkin. Namun, hal itu rasanya tak mungkin. Rata-rata nilai mereka di bawah standar yang aku tetapkan. Standarnya tidak tinggi, hanya enam puluh saja. Ah ... enam puluh itu menurutku sudah sangat rendah. Tapi fakta yang terjadi berbeda. Hanya dua atau tiga anak saja yang mampu melampauinya.

Dengan berat hati, aku menyalin nilai mereka. Sungguh miris sekali. Terlintas dalam pikiraaanku, apa nilaiku dulu juga seperti ini ya? Entah juga. Nanun, nilaiku di raport selama sekolah banyak yang melampaui standar. Ah ... sudahlah. Apa boleh buat? Inilah faktanya.

***

Dua hari telah berlalu. Tiba waktunya rapat dilaksanakan. Aku sudah siap memberikan nilai yang telah di rekapitulasi kepada masing-masing wali kelas. Aku mengedarkan nilaiku. Para wali kelas sudah menerima. Sekarang aku santai mengikuti rapat. Urusanku sudah selesai.

Tiga puluh menit berlalu sejak nilai aku edarkan. Salah satu wali kelas mendekatiku.

"Dik, ini nilainya sudah final ya? Kok pada di bawah KKM semua?" Bisiknya kepadaku.

"Nah, iya, Bu. Itulah hasil yang aku dapat selama mengajar,"

"Oh ... gitu. Boleh saya minta tolong, Dik?"

"Tolong apa, Bu?"

"Tolong di naikkan ya, Dik. Buat paling rendah sama seperti KKM,"

"Hah? Haruskah, Bu?"

"Iya, Dik. Saya tak enak jikalau mau menuliskan di raport begini. Bisa-bisa mereka tak naik kelas. Tolong bantu saya, Dik!"

"Hmmm ... baiklah,"

Aku mengambil kembali kertas nilaiku. Aku mengubahnya satu per satu. Aku tak tahu jika akan begini. Hal ini membuatku belajar. Ternyata jadi wali kelas seperti itu nantinya. Selain itu juga, ternyata penilaian objektif tak dapat dilakukan sepenuhnya. Subjektif sangat berpengaruh di sana. Oh, jadi seperti ini jadi guru. Ikhlas saja! Niatkan membantu.

***

Aku paham kondisi yang terjadi. Sebelum wali kelas lain melakukan hal yang sama, biar aku saja yang duluan yang menghampiri mereka lagi. Biar aku ubah juga. Biar adil.

Aku mengubah semua nilai itu. Aku tahu ini berat bagiku. Belum lagi mata pelajaran yang aku ampu adalah matematika. Mata pelajaran penting dan terkadang menjadi penanda seseorang dalam melakukan penilaian tingkat kecerdasan.

Sebenarnya batinku memberontak. Ini benar-benar di luar ekspektasi. Aku takut nilai yang aku berikan di sana tak sesuai kenyataan. Tak sesuai juga dengan kemampuan mereka. Hiks ... semoga anak-anak itu sadar dan akan lebih giat lagi belajar. Liat saja nanti di kelas. Aku akan mebeberkan nilai asli yang kalian punya. Biar jangan dulu berbangga diri! Karena yang tampak itu manisnya saja.

Bukan aku jahat atau apa. Aku tahu sebenarnya tak oantas melakukan itu nanti. Itu rahasia antara guru dan walikelas. Tapi, aku pikir apa salahnya melakukan itu. Ini demi kebaikan mereka ke depan. Siapa yang malu sewaktu-waktu ada yang menguji kemampuan mereka? Ya, mereka sendiri. Ini bukan tentang malu juga sebenarnya. Tapi tentang kejujuran. Setidaknya aku sudah mencoba mengatakan hal yang sejujurnya kepada mereka. Pada akhirnya, nilai hanyalah sebuah nilai.

Allah SWT berfirman:

وَلَقَدْ فَتَـنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَـعْلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكٰذِبِيْنَ

"Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al-'Ankabut (29): Ayat 3)

 آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Artinya: “Tanda orang munafik itu ada tiga, jika berkata dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia khianati.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Newbie TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang