Kelas 7A

1 0 0
                                    

Keputusan hasil rapat sudah final. Aku resmi menjadi wali kelas sejak saat itu. Barang sudah terjadi, jalani dulu. InsyaaAllah, bisa. Pasti bisa!

***

Masa perkenalan lingkungan sekolah atau di singkat MPLS tiba. Semua siswa baru datang ke sekolah dan berbaris di lapangan untuk mendapat pengarahan dari kepala sekolah. Kepala sekolah dan semua guru yang hadir, juga ikut berbaris di koridor lapangan. Diakhir penyampaiannya, kepala sekolah memperkenalkan para guru kepada siswa baru.

Siswa baru dikumpulkan dalam satu ruangan. Secara bergantian para guru senior memberi himbauan. Baik tentang kondisi sekolah, aturan, tata tertib, dan sebagainya. Aku tidak memberi himbauan saat itu. Maklum, masih junior.

Masa perkenalan lingkungan sekolah berakhir. Wakil kepala bidang kurikulum mulai menyusun jadwal. Siswa baru di pisah menjadi dua kelas. Supaya kelas tidak kosong, khususnga kelas siswa baru, kepala sekolah menyuruh wali kelas untuk masuk ke kelas perwaliannya. Melakukan semacam kegiatan perkenalan, karena saat MPLS kemarin, para wali kelas tidak mengisi materi MPLS.

Aku masuk ke kelas 7A. Kelas yang akan aku bimbing selama satu tahun ke depan. Aku masuk ke kelas itu. Semua mata memandangiku. Ah ... tatapan itu membuatku gugup. Rau wajah mereka sangat polos. Mereka terlihat lugu dengan aura kental SD yang masih tertinggal di raut wajah mereka.

Aku berjalan perlahan kemudia. duduk di kursi dekat papan tulis. Aku mulai menyapa mereka dengan pura-pura menanyakan kelas.

"Kelas 7A ya?"

"Iya, Bu," jawab beberapa siswa.

Mereka masih saja menatapiku. Ah ... canggung sekali. Aku melanjutkan pembicaraan. Seperti biasa, aku memperkenalkan diriku. Mulai dari nama lengkap, nama panggilan, latar belakang pendidikan, dan alamat tempat tinggal. Itu saja. Aku sengaja tak menyebutkan mata pelajaran yang aku ajarkan di sekolah. Aku hanya ingin tahu tanggapan awal mereka tentang diriku.

Sebisa mungkin aku mencairkan suasana. Mereka mulai menikmati dan mulai berani untuk tersenyum. Aku memangil nama mereka satu per satu, kemudian melakukan wawancara terbuka. Hehe .... Aku menanyakan nama panggilan mereka dan mencatatnya pada bagian kiri absen nama mereka. Selain itu, aku juga menanhakan tanggal lahir dan alamat tempat tinggal mereka serta tak lupa menanyakan cita-cita mereka.

Hanya empat pertanyaan itu yang aku ajukan. Hal itu cukup penting bagiku. Aku menanyakan panggilan, agar aku bisa lebih menyapa akrab mereka. Untuk tempat tinggal, aku sengaja menanyakan untuk melakukan pemetaan. Sedangkan tanggal lahir, aku iseng. Aku hanya ingin tahu usia mereka, kira-kira selisih berapa tahun dengan usiaku. Bukan untuk maksud apa-apa. Pertanyaan terakhir terkait cita-cita aku tanyakan karena aku ingin memotivasi mereka. Aku memberikan wejangan setelah perkenalan itu. Hanya beberapa orang saja yang tak tahu cita-citanya. Mereka bingung.

Mengapa cita-cita penting? Menurutku, ini akan berhubungan dengan motivasi belajar mereka ke depan. Jika mereka sudah memilih cita-cita, maka mereka sudah punya tujuan yang jelas. Untuk mencapai tujuan itu, mereka harus belajar. Belajar sampai jenjang yabg di butuhkan cita-citanya. Seperti itulah kira-kira.

Sembari melakukan wawancara, aku menyelipkan beberapa guyonan juga. Mereka akhirnya bisa tertawa. Nampaknya, mereka mulai menikmati suasana. Alhamdulillah ....

Interaksi mulai terjadi. Beberapa anak sudah berani berbicara denganku. Perkenalan sudah selesai. Aku masuk ke inti pembicaraan. Aku mulai menjelaskan posisiku di sekolah yaitu sebagai guru dan juga wali kelas mereka. Aku belum juga menyebutkan mata pelajaranku. Sampai akhirnya mereka penasaran dan mempertanyakannya kepadaku.

"Bu, Ibu ngajar apa di sekolah ini?" Tanya salah satu siswa kepadaku. Aku tersenyum melihatnya.

"Menurut kalian nih, tadi kan kita sudah ngobrol cukup panjang, coba tebak ibu ngajar apa kira-kira?" Pancingku kepada mereka.

Sebagian besar anak menjawab aku mengajar pendidikan agama dan budi pekerti. Sebagiaan lagi menjawab IPA dan sebagian lainnya hanya diam. Tak ada satu pun dari mereka yang mengatakan aku mengajar matematika. Hmmm ... sudah ku duga. Respon ini sama seperti kelas sembilan waktu itu. Aku senang. Artinya trikku untuk menghilangkan sisi killer guru matematika berhasil. Terbukti, tak ada yang menduganya.

Aku memberitahukan mereka tentang pelajaran yang ku ampu. Ternyata, mereka terkejut. Bahkan ada yang tak mempercayainya. Ada anak yang mengatakan aku berbohong dan kekeuh mendugaku sebagai guru PAIBP. Hmmm ... oke sudah biasa. Mungkin karena jilbabku. Dasar bocah!

***

Sejak kuliah, aku sudah bertekad. Aku akan mengubah pandangan siswa tentang guru matematika dan matematika itu sendiri. Makanya, aku bersikap sok asyik kepada mereka. Sebenarnya, aku ingin menumbuhkan rasa nyaman kepada mereka. Tujuannya adalah agar saat belajar nanti mereka tidak takut untuk bertanya jika tak paham.

Aku ingat betul wejangan guruku saat itu. Jika memilih jurusan kuliah, pilihlah jurusan yang kamu sukai. Mengapa? Karena jika kita sudah suka dan menjatuhkan pilihan, kita akan berjuang melakukan apapun dan tidak menyerah.

Itu yang aku pegang. Aku juga ingin mereka seperti itu. Ingin mereka menyukaiku sebagai guru mereka. Ingin mereka menyukai matematika. Sebenarnya, inti pembelajaran itu adalah gurunya. Jika murid nyaman dengan guru yang mengajar, maka pelajaran yang disampaikan akan mudah dipahami.

Itu sudah menjadi visi dalam hatiku. Aku ingin jadi guru matematika yang menyenangkan. Menghapus stigma guru matematika killer. Membuat matematika menjadi mata pelajaran favorit di sekolah. InsyaaAllah ....

Newbie TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang