Bagian 15

1.7K 260 53
                                    

꧁༺༒༻꧂


Bias cahaya matahari mengintip malu-malu dari sela-sela gorden yang tidak tertutup rapat. Taehyung mengerjap silau, terganggu dengan sinar matahari yang tepat mengenai matanya. Kemudian ia menutup separuh wajahnya dengan bantal.

"Kau tidak mau bangun?"

Matanya terbuka, menyipit silau saat melihat istrinya membuka gorden lebih lebar. Jennie lalu berjalan mengambil sebuah gelas kecil diatas meja, menyeruputnya sambil membaca majalah bisnis di tangannya.

"Hm."

Taehyung bangkit malas-malasan. Ikut mengambil gelas miliknya dan berjalan ke arah balkon, menghirup udara sejuk bercampur wangi cokelat panas di gelas miliknya.

Akibat sering lembur beberapa minggu ini, jam tidurnya berantakan. Diam-diam ia kagum dengan Jennie yang saat ini sudah rapi dengan jas formalnya. Perempuan itu masih bisa bangun pagi meski tidur larut bahkan dengan banyak pekerjaan sekalipun.

"Kau bisa luangkan sedikit waktumu di sabtu malam nanti?"

Pria itu menolehkan kepalanya ke belakang, menatap Jennie dengan kening berkerut. "Untuk?"

"Pembukaan gedung hotel yang baru di Daegu." Jennie membolak-balik majalah di pangkuannya. "Besok aku akan berangkat. Aku harus melihat persiapan akhirnya sebelum diresmikan pekan nanti. Kau bisa berangkat bersamaku besok?"

"Sepertinya tidak." ucapnya sambil meminum cokelatnya seteguk. "Aku ada pertemuan dengan para investor besok. Kau tenang saja, aku akan menyusul."

Jennie hanya mengangguk, tak lagi bersuara. Sebenarnya, agendanya beberapa hari kedepan tidak terlalu padat. Ia bahkan bisa memundurkan jadwalnya jika ia mau. Ia hanya belum siap. Belum siap untuk melihat wajah ibunya dan ... takut kalau-kalau ia bertemu Irene disana.

Tidak. Irene sudah cukup tersakiti karena masalah ini. Sudah cukup ia menggores luka dalam pada hati wanita itu. Ia tidak mau melihat wajah terluka wanita itu lagi.

•••

"Tolong kopinya satu gelas lagi."

Bibir wanita itu mendecih sebal. Kenapa pria itu tidak pergi-pergi? Apa dia tidak tahu jika Irene benci melihat senyumnya? Memuakkan saja.

"Kau mendengarku?"

"Tolong tunggu sebentar." katanya ketus. Ia membawa piring-piring dan gelas kotor ke belakang. Meletakkannya keras ke wastafel hingga Wendy mengernyit heran.

"Kenapa kau?" Wanita itu memajukan kepalanya untuk mengintip kedepan. "Suho lagi?"

"Terus terang, aku lelah melihatnya yang selalu mengikutiku seperti penguntit gila." sungut Irene kesal.

"Ku rasa dia tidak cocok untuk jadi penguntit. Mana ada penguntit setampan dia." Irene melotot mendengar kalimat Wendy barusan, lantas ia menyela, "Kau tidak tahu saja dia segila apa."

Wanita itu berjalan mengambil gelas di kabinet, meletakkannya di tempat mesin pembuat kopi. "Dia bahkan lebih menyeramkan dibanding sasaeng."

Wendy mengangguk-angguk saja saat Irene mulai berceloteh. Ikut menyibukkan diri dengan mengelap gelas dan piring yang baru dicucinya tadi.

"Terkadang aku iri denganmu. Hidupmu dikelilingi pria tampan. Kapan aku bisa seperti itu?"

"Bermimpilah." Irene tersenyum sambil melempar lap basah kearah Wendy, membuat wanita itu berseru protes.

"Aku akan mengantar minuman pria menyebalkan itu dulu. Setelah ini ku yakin nanti malam dia tidak akan bisa tidur karena minum lima gelas kopi."

Mereka tertawa bersama. Irene lalu berjalan kedepan sambil membawa kopi pesanan Suho diatas nampan. Senyumnya hilang. Digantikan dengan wajah ketus yang sudah Suho hapal.

cʟᴀɴᴅᴇsтιɴᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang