Bagian 3

1.9K 296 7
                                    

꧁༺༒༻꧂

Jennie mengeratkan mantelnya, pagi ini kabut lumayan tebal, membuat hawa sekitar menjadi dingin. Ia memutuskan kembali ke rumah setelah melihat matahari mulai meninggi. Mungkin setelah minum segelas susu tubuhnya bisa kembali hangat.

Pagi ini Jennie rela keluar pagi buta demi bisa memotret matahari terbit. Kapan lagi dirinya bisa memotret momen langka? Ia berjalan dengan hati-hati, namun mungkin karena tanah yang licin dan rumput yang lembab sisa hujan semalam, Jennie terpeleset dan jatuh ke atas tanah yang agak becek.

"Aw!" ia meringis, kameranya bahkan terpelanting jauh. Dengan menahan sakit di bokong, ia menepuk-nepuk mantelnya yang kotor. Sial, padahal ini mantel kesayangannya.

"Kau baik-baik saja?"

Suara berat dan uluran tangan di depannya sontak mengagetkan Jennie. Ia mendongak dan melihat seorang pria menatapnya khawatir.

"Kau!?"

"Kau!?"

Mereka berseru bersamaan. Jennie melotot, benar-benar kaget. Astaga, pria ini adalah kekasih Irene! Bisa saja dia melaporkan pada Irene kalau Jennie ada di sini.

"Kim Jennie? kau benar-benar Kim Jennie?"

Jennie bangkit berdiri tanpa menerima uluran tangan itu. Ia menatap pemuda di depannya dengan wajah pongah. "Ya, aku Kim Jennie."

Pria dengan topi rumbai itu sedikit salah tingkah. "Um, kau tidak apa-apa, Jennie-ssi? Bajumu kotor. Aku bisa membantumu membersihkannya."

"Tidak perlu, aku baik-baik saja. Daripada itu, sepertinya aku pernah melihatmu." tuturnya berpura.

"Ah, itu... kita bertemu seminggu yang lalu di kafe. Saat itu kau sedang bertengkar dengan Irene."

"Ah, aku ingat. Kau kekasih Irene, bukan?" pria itu mengerutkan dahi bingung, sementara itu Jennie tersenyum sambil melanjutkan, "aku mendengar pembicaraan Irene dan pelayan waktu itu."

Dia mengangguk. "Omong-omong, namaku Kim Taehyung. Aku sudah banyak mendengar tentangmu dari Irene. Senang bertemu denganmu." dia mengulurkan tangan, hendak berkenalan. Senyum kotaknya membuat wajahnya kelihatan seperti anak-anak.

"Kau sudah tahu banyak tentangku, kan? Kalau begitu tidak usah sok ramah, aku yakin kau juga membenciku sama seperti Irene."

Pria itu menurunkan tangannya, senyumnya luntur.

"Aku tidak tahu kenapa dia membencimu sampai seperti itu. Dia sering bercerita betapa bencinya dia padamu, tapi tak ada alasanku untuk ikut-ikutan membencimu. Dia cuma bilang dia terusir dari agensi karenamu." pria itu tersenyum masam, kepalanya menunduk.

"Aku sangat berharap kalian bisa kembali berdamai, kudengar dulu kalian dekat."

Jennie menatap kedua mata pria itu, tersirat ketulusan disana. Jennie lantas berdeham untuk menetralkan suasana, mengembalikan citranya sebagai idola.

"Aku tidak tahu kau jujur atau bohong. Tapi yang membuatnya terusir adalah dirinya sendiri, bukan aku. Kuharap kau tidak bilang pada Irene jika aku berada di sini, karena mau bagaimana pun kami tidak akan pernah bisa berdamai. Permisi."

Jennie memungut kameranya yang tadi jatuh, menatap pria itu sebentar lalu segera pergi dari sana.

Pria bernama Taehyung itu menatap kepergian Jennie lamat sebelum kembali meraih gerobak dorongnya yang tadi dia tinggalkan begitu saja. Kembali meneruskan jalannya menuju kebun.

•••

"Jennie-ssi, mari kita istirahat sebentar. Yang lain sudah menunggu untuk makan siang bersama."

"Oh, baiklah."

Jennie meletakkan keranjang stroberi yang tadi baru dipetiknya. Kemudian mencuci tangannya lalu ikut bergabung bersama petani lain yang sudah menunggunya.

"Maaf makanan kami seadanya, semoga Anda tidak keberatan, Jennie-ssi."

"Tidak masalah. Aku akan makan apa yang kalian makan." Jennie tersenyum menyahuti perkataan wanita paruh baya di sampingnya. Mereka menggelar tikar di bawah pohon besar dan duduk melingkar bersama-sama.

Jennie agak tersentuh saat melihat bagaimana mereka antusias mengambilkan nasi dan lauk pada piring miliknya.

"Makanlah, Jennie-ssi." ucap wanita itu riang.

"Terima kasih, Bibi."

Mereka makan dengan diiringi obrolan dan tawa dari para petani, sedang Jennie hanya mendengarkan sesekali juga ikut tertawa. Tidak salah ia kembali ke sini, ia benar-benar merasa rileks dan jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

Terhitung sudah 3 hari dirinya berada di Daegu. Rasanya ia ingin menetap saja dan tidak ingin kembali ke Seoul. Tapi tetap itu semua mustahil.

"Bibi!"

Semua kepala refleks menoleh ke asal suara. Dari kejauhan terlihat seorang wanita berlari ke arah mereka sambil membawa kotak makan dan melambai. Wanita itu segera mengambil tempat di sebelah wanita paruh baya di samping Jennie.

"Bukannya aku sudah bilang agar menungguku? Kenapa kalian meninggalkanku?"

"Oh, Irene maafkan aku. Karena ada Jennie, aku sampai lupa kalau kau juga akan makan siang bersama kami."

"Jennie?" kening Irene berkerut. Baru saja ia akan kembali bertanya, matanya justru menangkap kehadiran Jennie di samping kiri wanita tadi.

"Jennie!?"

Sang empunya nama hanya diam tak acuh sambil kembali memakan makan siangnya. Mengabaikan eksistensi Irene di sana.

"Kenapa kau ada disini!?"

Melihat Jennie yang mengacuhkannya, Irene segera menghampirinya. Ditariknya Jennie hingga berdiri, bahkan makanan Jennie tumpah karena tarikan paksa dari Irene.

Sialan, kenapa wanita rubah ini selalu mengganggu makan siangnya?

"Aku bicara padamu!"

"Irene! Apa yang kau lakukan!?"

Wanita di sebelah Jennie tadi membentak, terkejut dengan kelakuan kurang ajar Irene.

"Jangan membelanya, Bi! Perempuan ini licik, karena dia aku terusir dari agensi."

Jennie menatap malas Irene yang kini berang seolah akan mencakarnya. Ayolah, ia sedang tidak ingin berurusan dengan Irene sekarang. Mood-nya sedang bagus, Jennie tak mau Irene merusaknya.

"Hei, Kim Jennie! Kenapa kau mengikutiku sampai kemari? Apalagi yang kau rencanakan, hah!?"

"Percaya diri sekali kau." Jennie menepis tangan Irene dari lengannya. "Waktuku terlalu berharga untuk dihabiskan dengan menguntitmu. Kau pikir kau siapa?"

Jennie melirik sekumpulan orang-orang yang kini menatap mereka. Perempuan itu lantas menghela napas kala dirinya kini menjadi pusat perhatian. Dengan sopan ia membungkuk lalu tersenyum. "Maaf atas keributan ini semuanya, sepertinya aku harus kembali. Terima kasih makan siangnya, makanannya enak sekali."

Usai mengatakan itu ia membungkuk kembali lalu segera pergi meninggalkan tempat makan siang mereka. Irene berniat kembali menahan Jennie namun tangannya lebih dulu dicengkeram oleh wanita paruh baya tadi.

Dalam perjalanan pulang Jennie menggeram kesal setengah mati. Kehadiran wanita rubah itu sukses menghancurkan mood bahagianya hingga menyisakan amarah seperti sekarang.

"Kau memilih lawan yang salah Irene sialan. Kau lihat saja hadiah apa yang akan kuberikan untukmu nanti." ia mendesis lalu menyeringai sinis.

Well, It's show time.

꧁༺༒༻꧂

To be Continued ...

cʟᴀɴᴅᴇsтιɴᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang