꧁༺༒༻꧂
Jennie menatap lurus seorang pemuda yang sedari tadi berjalan mondar-mandir di depan gedung agensi. Pria itu terlihat gelisah dan ragu-ragu antara ingin masuk atau tidak ke dalam sana. Kedua tangannya memeluk sebuah parsel ukuran sedang berisi penuh buah stroberi. Sangat unik. Ia baru pertama kali melihatnya. Mungkin pemuda itu membuatnya sendiri.
Senyum Jennie tersungging samar saat melihat wajah manyun pemuda itu yang lucu, kesal menunggu. Jika ditilik lebih baik, sepertinya dia bukan berasal dari sini. Maksudnya, lihatlah. Dia terlalu culun untuk standar fashion Seoul yang tinggi.
Tidak ada remaja di sini yang memakai kemeja lusuh yang warnanya nyaris pudar seperti sudah sering dicuci berkali-kali. Celana jins agak kepanjangan dan sepasang Converse yang Jennie yakin adalah barang tiruan seharga keset rumahnya. Pun jangan lupakan topi norak dan kacamata itu.
Membuatnya tak habis pikir.
Namun, dirinya sedikit terenyak tatkala melihat seorang sekuriti mendekatinya, memaksa pria itu menyingkir dari halaman depan agensi. Maka dengan wajah murung tak bisa membantah, pemuda itu berjalan menjauh. Menoleh ke kanan dan kiri sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah gerai kopi tempatnya memantau pria itu sedari tadi.
Dan ini adalah sebuah kebetulan yang luar biasa. Pria itu duduk tepat di samping mejanya, hanya terpaut dua hasta. Dengan wajah sendu, pria itu menatap parsel dan ponsel bututnya bergantian. Menghela napas berat.
"Boleh aku bergabung?"
Pemuda itu melonjak kaget. Mendongak menatap presensi seorang perempuan cantik sepantarannya menyapa. Membuatnya salah tingkah. "O-oh, tentu saja. Kau boleh bergabung."
Jennie tersenyum manis, menarik kursi dan duduk di sana.
"Aku memperhatikanmu sejak tadi. Apa yang kau lakukan dengan parsel ini di depan gedung agensi itu?"
"Ah, kau memperhatikanku?" rona kemerahan menjalar di pipinya. Pemuda itu lantas terkekeh malu dan menjawab, "aku ingin mengunjungi kekasihku, dia trainee di sana. Tapi sejak tadi aku tidak mendapat kabar darinya dan tidak bisa kuhubungi, padahal aku sudah menunggu 2 jam."
"Dia juga seorang trainee?" Tanya Jennie penasaran.
"Ya! Suaranya sangat merdu dan dia sangat cantik!" Jawabnya berapi-api. Jennie bahkan bisa melihat jelas binar cinta dari pemuda tanggung di hadapannya.
"Bisa kutahu namanya?"
Dengan kepala terangguk dan senyum lebar penuh antusiasme, pemuda itu menjawab, "Irene. Namanya Bae Irene."
Dan ia kehilangan senyumnya secara spontan.
"Kau mengenalnya?"
Jennie tersentak dari keterkejutannya. Kembali memasang senyum yang sama seperti tadi. "Tentu. Dia senior yang cukup dekat denganku. Kau tahu, sebenarnya tidak mudah bagi orang asing masuk ke sana, di agensi kami penggunaan ponsel pada para trainee juga diawasi ketat. Jika kau memang ingin mengantarkan parsel itu, kau bisa menitipkannya padaku."
"Sungguh?!"
"Ya."
"Terima kasih! Aku benar-benar terbantu. Ah, bolehkah aku tahu kira-kira apa yang sedang dia lakukan sekarang?"
Jennie tersenyum simpul. Memilih tak langsung menjawab dan menyeruput minuman miliknya. "Kurasa sekarang dia sedang berlatih keras demi evaluasi bulanan lusa nanti. Kudengar, dia diet mati-matian belakangan ini karena berat badannya yang naik drastis."
"Ah, benarkah?" Wajah polos pemuda itu mendung kembali, "Hah ... kurasa dia takkan memerlukan parsel ini lagi. Terima kasih, tapi kau tidak perlu repot mengantarkan ini padanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
cʟᴀɴᴅᴇsтιɴᴇ
Fanfiction[M] Orang-orang pasti akan melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Sama seperti Jennie, perempuan superior yang rela melakukan apa saja agar dendamnya terbalaskan. Bahkan jika itu membuatnya harus memaksa anak petani sekalipun untuk menikah deng...