Terus terang aku tak mempermasalahkan hal-hal atau perintah para senior. Satu-satunya yang membuatku stress dalam Orientasi ini ada Kak Shaquille.
"Tapi, Syakila.. tadi kamu beruntung banget diajak ngobrol sama Kak Shaquille. Dicolek lagi dagunya." Goda Icha sedikit ganjen.
"Hah? Apanya yang diajak ngobrol? Aku kena marah tau. Lagian siapa yang dicolek? Aku malah disuruh push-up. Apanya yang beruntung ?" Membicarakan Shaquille si blagu itu membuat emosi saja.
"Saling bertatap muka dalam jarak 30 senti dengan senior ganteng itu sih, biar dimarahin juga gak masalah. Bikin iri deh."
"Huuhh, aku sih ogah."
"Akhir-akhir ini Kak Shaquille kelihatan perhatian banget yah? Jangan-jangan kamu lagi diincar. Pura-pura sok galak padahal dia naksir tuh." Aku menggeleng, tak setuju dengan pemikiran Icha.
"Mungkin orang itu cuma sentimen saja padaku."
"Kenapa ?"
"Ng.. itu sih..." aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.
Darimana aku harus mengingatnya? Lagipula tak ada alasan pasti. Tapi tadi Shaquille sengaja memperlihatkan amplop merah padaku. Mungkin ini ada kaitannya dengan surat cinta yang kukirim kemarin.
Ceritanya, dua hari lalu kami disuruh membuat surat cinta dan surat benci berwarna merah ditempeli perangko foto sendiri untuk para senior. Berdasarkan pengalaman sih, hal sepele itu paling hanya sebatas keisengan senior saja. Maka dengan sengaja aku menukarnya. Surat benci kukirim pada Kak Samuel, senior yang jadi seksi dokumentasi. Kukatakan padanya betapa aku membenci dia yang selalu tersenyum, bersikap terlalu ramah pada orang lain, hanya memotret cewek-cewek cantik dan lain sebagainya yang justru lebih berisi ungkapan cinta dan kecemburuan.
Lalu surat cinta sendiri kubuat spesial untuk senior yang paling kubenci. Si Shaquille. Iya Shaquille Melviano. Orang yang dengan sengaja melempar kacang hijau ke mukaku. Saat itu aku benar-benar tersinggung. Dia mungkin boleh marah atau menghukumku gara-gara 999 butir kacang hijau yang tak sanggup kupenuhi. Tapi aku tak suka pada sikapnya yang seenaknya membuang-buang makanan. Menyia-nyiakan usahaku. Padahal betapa aku telah bersusah payah hingga tengah malam menghitung jumlah kacang hijau itu dengan teliti, tapi dia bilang masih kurang 3 butir.
Apa? Hanya 3 butir. Dan bahkan aku tak yakin cowok itu benar-benar menghitungnya. Hasil usahaku yang begadang menghitung kacang. Semua yang kulakukan untuk memenuhi permintaan gila para senior. Aku dilempari kacang hijau.
Maka di malam aku harus menulis surat cinta pun tanpa sadar aku jadi bersemangat karena dendam.
Kepada Shaquille-ku sayang,
Pertama kali aku melihatmu, hatiku langsung terpikat. Bukan karena wajahmu yang tampan ataupun gayamu yang keren. Tapi karena sikap dan bentakan kasarmu yang menusuk hati.
Sebelum ini mungkin telah ada salah paham diantara kita. Murkanya dirimu karena 999 butir kacang hijau yang tak sanggup kupenuhi menunjukkan betapa kerasnya hatimu sekeras kepalamu.
Apalagi bila kau minta dibuatkan 1000 candi? Aku tak sanggup. Aku tak punya anak buah jin dan siluman yang bisa kupekerjakan (mungkin kau sebagai bos setan bersedia meminjamkannya ?) Tapi bila kau minta 1000 candil, mungkin akan kupertimbangkan dan kuberi bonus dengan kolak pisang sekalian.
Ini ungkapan cintaku yang pertama dan terakhir. Kutitipkan perasaanku pada semilir angin kentut yang berhembus disekitarmu. Betapa aku mencintaimu sebesar aku membencimu. Terimalah aku atau pergilah ke neraka bila kau menolakku.
.
.
.
Mata biru Icha membulat. Mulut gadis yang biasanya bawel itu kini hanya menganga. No comment atas ceritaku yang barusan.
"Ya, siapapun pasti shock dapat surat cinta seperti itu. Apalagi katanya dia sampai ditertawakan senior lain. Wajar bila Kak Shaquille marah."
"Tapi yang membuatku heran kenapa dia bisa tahu? Aku tak beri surat itu perangko atau inisial nama. Bahkan biar tulisan tangan tak terlacak, aku ketik dan print surat itu harusnya mustahil dia tau kan?"
"Bodoh ih Syakila. Kalau kau telusuri pasti ketahuan siapa yang sama sekali gak kirim surat cinta. Lagian kau pikir berapa orang yang waktu itu kena marah Kak Shaquille gara-gara kacang hijau?"
"Hah? Iya juga ya. Aku tak berpikir sampai kesitu."
"Tapi diluar dugaan kau cukup cerdas juga Syakila. Cara menarik perhatian orang seperti Kak Shaquille itu adalah dengan membuatnya benci. Dia pasti balik mengejarmu." 'Pletak' ku jitak kepala Icha pelan.
"Sembarangan. Sudah kubilang aku sama sekali tak tertarik sama cowok dingin, kejam, jahat seperti si Shaquille itu. Lagipula hatiku sudah kuserahkan sepenuhnya untuk Kak Gavin."
Aku tersenyum dan kembali merasa bahagia saat mengingat lambaian tangan pemuda berambut pirang itu tadi. Gavin Saveri. Dia tahu aku disini. Tahu aku masuk Bridge School. Meskipun mungkin dia tak tahu alasan utamaku berada di sekolah ini adalah untuk mengejarnya.
Kak Gavin, kakak kelas yang paling kukagumi sejak di bangku SMP. Aku ingin bisa berada di dekatnya. Termasuk berusaha keras belajar dan mengikuti ujian masuk sekolah elit Bridge school. Kulakukan semua agar bisa kembali satu sekolah dengan Gavin dan aku akan punya banyak kesempatan untuk mendekatinya. Termasuk menagih janji yang dulu pernah kami buat.
'Nguing~~nguing~~nguing' bunyi alarm terdengar nyaring. Langsung membuyarkan lamunanku.
"Ayo cepat!!" Aja Icha sambil lekas berdiri.
Alarm tadi adalah tanda peringatan agar kami segera berkumpul dilapangan. Aku dan Icha lekas angkat kaki. Harus cepat nih. Hitungan mundur pasti sudah dimulai. Dalam waktu tiga menit barisan harus sudah rapi. Kalau tidak para senior itu akan turun tangan. Dan si Shaquilee itu pasti ngomel lagi.
"Hei Syakila!!"
Aku sebentar menoleh menanggapi panggilan itu. Kak Gavin berdiri di seberang lapangan sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Memasang pose cool seperti biasa.
"Semangat ya!!" Ucapnya penuh semangat. Kurasakan wajahku merona merah. Merasa bahagia.
"Hm." Aku mengangguk mantap sambil tersenyum kepadanya.
"Terima kasih Kak Gavin"
.
.
.
"Baiklah, sekarang kalian punya waktu setengah jam sebelum upacara penutupan dimulai. Manfaatkan waktu itu untuk melengkapi kolom tanda tangan. Ini penting untuk diisi karena kartu pelajar tak akan diberikan kalau kolom tanda tangan ini tak lengkap. Dan kalau tak punya kartu pelajar itu sama saja kalian dianggap bukan siswa Bridge. Perjuangan kalian selama seminggu mengikuti Orientasi ini akan sia-sia. Jadi, sampai alarm berikutnya berbunyi mintalah tanda tangan kepada para senior !" Seru Saaqib Abichandra, sang ketua panitia pelaksana dengan wajah mengantuk dan ogah-ogahan.
Seluruh peserta langsung membubarkan diri. Berlarian mengerumuni para senior. Aku masih berdiri dengan santai ditengah hilir mudik meminta tanda tangan. Sewaktu kuperiksa kembali buku catatanku masih ada sekitar 20 tanda tangan senior lagi yang harus dilengkapi.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Shivviness[END]
Teen FictionSuatu ketika aku bermimpi. Berlari tanpa arah di tengah jalan berkabut. Dan batu kecil pun bisa membuatku jatuh tersandung. Dengan rasa sakit, tak mampu berdiri sendiri. Aku menengadahkan kepala dan melihat sosok samar orang yang kusukai. Dia hanya...