24. Hapuslah kesedihanku

18 10 0
                                    

"Kau ini ternyata hebat juga ya. Masih bisa tahan melihat mereka." Shaquille menunjuk dua orang di depan itu dengan dagunya. Aku menghela nafas panjang.

"Kan sudah kubilang aku akan bersikap biasa saja."

"Sungguh tidak merasa sakit hati ?"

"Kau sendiri, tidak kesal melihat Marsya ?"

"Hm." Shaquille melirik, dahinya sedikit berkerut.
"Kenapa aku harus kesal ?"

"Yah, kan kau bilang kau suka pada Marsya. Kau bilang Gavin sudah merebut gadis yang kau sukai." Aku sedikit memelankan suaraku. Shaquille terkekeh.

"Tapi aku kan tidak bilang kalau itu Marsya."

"Hah? Kalau bukan dia lalu siapa ?"

"Kau." Jawab Shaquille singkat. Membuatku terheran-heran. Tidak mengerti maksudnya. Kenapa aku?

         Diam sesaat. Shaquille hanya senyum-senyum tidak jelas sambil menggaruk-garuk kepalanya. Aku menatapnya malas, kesal dicuekin. Memandang kedepan pun rasanya makin kesal, saat pegangan tangan itu berubah menjadi rangkulan mesra. Gavin dan Marsya tampak semakin menikmati perjalanan ini tanpa tahu aku yang dibelakang sedang sakit hati.

"Kalau kau mau memohonlah padaku." Kata Shaquille kembali membuka pembicaraan.

"Apa maksudmu ?"

"Kubilang aku bisa menghapus rasa sakit hatimu . Kau tidak ingin menunjukkan pada Gavin bahwa kau bisa bahagia? Buat dia menyesal sudah mencampakkanmu."

"Dia tidak mencampakkanku." Ucapku mengoreksi.

"Sama aja Jenong! Eh, rasanya udah lama aku tidak memanggilmu Jenong hehe... kangen juga." Kata Shaquille.

"Hihhh..." aku cemberut. Sedikit pun kejahilan orang ini tidak berubah.

.

.

.

"Hei, Syakila. Kita naik itu yuk !" Ajak Marsya sambil menunjuk sebuah bianglala.

         Langkahku terhenti, menengadahkan kepala memandang kincir besar itu. Dalam hati, jujur saja aku pun ingin menaikinya. Penasaran duduk 20 menit, berputar melewati setiap ketinggian dalam bianglala tembus pandang yang pastinya menyajikan pemandangan kota yang menakjubkan dari atas sana. Maka saat Marsya menarik tanganku pun aku tidak menolak.

         Tidak lama mengantri, akhirnya giliran kami berempat masuk ke salah satu bianglala. Seperti biasa, dua sejoli itu duduk berdampingan. Sedangkan aku tentu saja disebelah Shaquille. Masing-masing dari kami saling berhadapan.

"Ihh... takut." Ucap Marsya manja sambil memegang erat lengan Gavin ketika bianglala itu mulai bergerak dan sedikit bergoyang.

"Haha... Biasa aja kali. Gak usah takut. Kan ada aku." Kata Gavin mencoba menenangkan pacarnya.

"Cih.." aku berdecih, mengomel dalam hati ketika melihat mereka kembali bermesraan. 'Jangan protes dan menyesal Syakila. Ini pilihanmu.' Kutepis pikiran itu. Aku sungguh ingin menikmati pemandangan yang terlihat dari atas bianglala ini.

"Indahnya..." aku berdecak kagum, terpesona memandang jalanan, atap rumah, gedung-gedung, aliran sungai, hamparan kota yang sebenarnya jadi terlihat kecil.

         Di ufuk barat sana bayangan matahari tampak memudar. Terhalang awan-awan kelabu yang membuat langit menjaladi gelap. Kelap-kelip lampu pun mulai menyala. Menandakan hari siang bersiap berganti malam.

"Akhirnya kau bisa tersenyum juga." Kata Shaquille.

"Hm." Aku sedikit melirik padanya. Tidak kukira dia akan berkata seperti itu padaku. Dia menyadari beratnya perasaanku hari ini sehingga, aku tidak benar-benar tersenyum tulus pada siapapun juga dari tadi.

Shivviness[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang