Saat kembali menyusuri sudut-sudut sekolah. Langkahku terhenti diujung lorong. Pandanganku menerawang jauh keluar jendela. Tepat dibawah pohon halaman belakang gedung olahraga. Kulihat seorang cowok berjaket biru berdiri membelakangi. Kukenali bordiran lambang MV itu dipunggungnya.
' Tidak salah lagi. Itu jaket yang biasa dipakai Shaquille.' Buru-buru aku berlari menuruni tangga menuju gedung olahraga. Jangan sampai cowok itu pergi sebelum kudapatkan tanda tangannya.
"Hei, Kak! Kak Shaquille! Tunggu !" Panggilku dengan nafas terengah-engah.
Yang dipanggil sedikit menolehkan kepalanya kearahku. Memandang sinis, tapi tetap tak menghentikan langkahnya dan terus saja berjalan mengacuhkanku. Aku benci sekali dengan sikap cueknya itu. Langsung saja kupercepat langkahku dan lekas menghadangnya.
"Heh, Kak! Gak dengar ya dari tadi aku bilang tunggu? Bentar dong.."
"Apa Jenong ?!" Desisnya tampak kesal.
"Aku hanya mau minta tanda tanganmu." Jawabku to the point.
"Tanda tangan?" Dia mengernyit heran, "Aku ?"
"Iya." Kusodorkan buku catatanku padanya.
"Ini Kak, tolong tanda tangan disini. Aku tak bisa mengambil kartu pelajarku kalau tanda tangannya belum lengkap." Shaquille berdecih.
"Udah telat, bodoh! Kau tahu aturannya harus mengumpulkan tanda tangan tapi, kenapa baru datang sekarang? Kemarin - kemarin kemana saja heh? Baru sadar betapa pentingnya tanda tanganku. Makanya kalau disuruh itu langsung nurut. Jangan sok santailah. Dikira perintah senior itu gak berguna? Baru tahu sekarang akibatnya, makanya..bla...bla...bla..."
Benci. Sialan. Kurang ajar. Emosiku bercampur aduk mendengar ocehannya. Kenapa cowok yang biasanya irit bicara ini jadi banyak omong? Kalau tak ingat siapa dia dan betapa pentingnya ini sampai aku harus tetap berdiri memohon padanya, sudah kusumpal mulut itu agar berhenti mengomel.
"Tapi Kak Saaqib bilang masih bisa kok. Aku bahkan disuruh untuk menemuimu. Jadi kakak harus menandatanganinya disini." Kataku sambil menunjukkan sebuah kolom kosong pada buku catatanku.
Shaquille mendelik, melipat kedua tangannya didada. Diam sesaat seolah berpikir. Bisa kulihat dari wajahnya yang blagu. Cowok itu pasti hanya berpura-pura mempertimbangkan.
"Hm, kayaknya gak bisa deh." Jawabnya santai. Ehh.. enggak bisa? Satu jawaban darinya yang langsung membuatku shock.
"Jadi usahaku sia-sia? Seharian ini mencarimu dan yang kudapat hanya jawaban 'enggak bisa' ?"
"Kau tahukan aku tak memberi tanda tangan, cuma kasih stempel." Lanjut Shaquille.
"Iyaa.. itu maksudnya. Apapun deh, tanda tangan, stempel, yang penting bukti dari kakak. Aku mohon. Ini hari terakhir. Aku harus mendapatkan bukti darimu."
"Hm." 'Grep'.. tanpa sadar aku langsung menarik ujung lengan jaketnya.
"Aku mohon kakak tandatangani buku catatanku ya? ya? ya ?" Pintaku dengan sangat memohon sambil mengeluarkan jurus puppy-eyes dengan mata hijauku. Shaquille langsung mengernyit heran, berusaha melepaskan diri.
"Heh, minggir! Lepaskan aku! Sudah kubilang tidak bisa ya tidak bisa!"
"Kak Shaquille." Rengekku.
"Woy Mbing !!" Seorang pemuda berambut pirang tiba- tiba muncul dihadapan kami.
"Apa yang sedang kau..." Nathan Calvin nama pemuda itu, langsung menatapku dan Shaquille bergantian, "Eeh..kalian lakukan ?"
"Wuaaa..." kagetku yang lekas melepaskan lengan Shaquille. Buru-buru menjauh sebelum oramg lain salah paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shivviness[END]
أدب المراهقينSuatu ketika aku bermimpi. Berlari tanpa arah di tengah jalan berkabut. Dan batu kecil pun bisa membuatku jatuh tersandung. Dengan rasa sakit, tak mampu berdiri sendiri. Aku menengadahkan kepala dan melihat sosok samar orang yang kusukai. Dia hanya...