33. Dibawah payung yang sama

23 9 2
                                    

"Karena aku sudah benar-benar jatuh cinta padamu." Kataku sambil mendaratkan bibirku diatas bibirnya. Disela ciuman, Shaquille tersenyum.

"Benarkah ?" Aku mengangguk.

         Aku pun menurunkan tanganku dari wajahnya berganti mengalungkannya di leher pemuda tampan itu. Sementara tangan Shaquille pun melingkar di pinggangku.

"Aku mencintaimu Kak Shaquille."

"Aku juga mencintaimu Syakila. Bisiknya.
"Terima kasih." Shaquille kembali menciumku lembut.

.

.

"Heh! Apa yang kalian lakukan ?!" Teriak Satya.

         Kemunculannya yang tiba-tiba membuat kami berdua gelagapan. Kami pun lekas menjauh melepaskan pelukan. Gawat. Pasti barusan Kak Satya lihat.

"Anu, kakak.. ini.. kami cuma..."

"Shaquille, beraninya kau..." Satya mulai melemaskan jari-jari tangannya yang terkepal.

"Sudah kubilang jangan..." 'Bletak...' Shaquille kena jitak.

"Aw..." ringisnya kesakitan.

         Ah... kakakku memang over protective. Maaf Shaquille...

.

.

.

         Kak oh Kak 'Aku mencintaimu !' Gavin Saveri. Masih ingatkah janjimu padaku?

         Tujuanku masuk Bridge School adalah untuk mengejarmu. Jadikan aku kekasihmu. Tapi apa maksudnya ini? Ternyata diam-diam kau sudah punya pacar. Lalu aku dianggap apa? Oh, hanya seorang adik kelas yang kau sayangi. Ya, baiklah. Aku mengerti.

         Meski sakit hati dan terpuruk karena hal itu. Tapi kau tahu, sekarang sudah tidak lagi. Akhirnya aku bisa mengucapkan selamat tinggal pada dirimu yang tidak membalas cintaku dan pada diriku yang pernah mencintaimu.

"Selamat tinggal Kak."

         Shaquille Melviano.
Apa maumu sebenarnya, hah? Menyebalkan. Senang mempermainkanku? Mencuri ciuman pertamaku, mengusikku, dan sekarang kau juga mencuri hatiku. Kau anggap apa aku? Mainanmu? Kekasihmu? Orang yang kau cintai? Ya apapun itu, aku bahagia bersamamu. Kuserahkan seluruh perasaanku dengan tulus padamu. Bersamamu kini kuawali cinta yang tidak ingin kuakhiri.

"Aku mencintaimu Kak."

.

.

.

         Awan kelabu tebal menyembunyikan sosok mentari. Menjadikan pagi ini terlihat suram. Seiring jutaan tetes air pun jatuh ke bumi. Gerimis kecil ditambah udara yang berhembus dingin. Seandainya hari ini libur, orang-orang pasti lebih memilih tidur dibalut selimut tebal atau menikmati secangkir cokelat panas daripada berjalan di bawah lindungan payung, sambil menyusuri jalanan basah dan becek. Dimana cipratan lumpur akan sedikit mengotori sepatu dan menimbulkan noda kecokelatan pada kaos kaki putih yang kukenakan.

         'Tuk...'
Kurasakan ada yang menyentuh bahu kiriku. Aku pun menoleh namun tidak kudapati siapapun. Dan ketika kuputar kembali kepalaku kearah sebaliknya, satu jari langsung menyentuh pipiku. Membuatku berteriak kaget. Sementara orang jahil itu tertawa kecil, puas melihat reaksiku.

"Hihihi... kena kau." Kata seorang pemuda berambut pirang yang terkikik geli berdiri dihadapanku kini.

"Huh, Kak Gavin usil deh." Ucapku setengah kesal padanya. Permainan kekanak-kanakan seperti ini dulu sering dia lakukan untuk sekedar menggodaku.

Shivviness[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang