Gavin tampak kecewa, tapi tidak lama kemudian dia kembali tersenyum. Walau terlihat sangat dipaksakan.
"Sekarang kau berubah. Tidak mau kuajak bercanda seperti dulu. Apa karena Shaquille ?"
"Eh? Aku berubah ?" Tanyaku, lebih kepada diri sendiri.
"Ya, mungkin memang sekarang aku sudah berubah. Tapi ini bukan karena Shaquille. Kak Gavin sendiri lupa soal Marsya ?" Ditanya seperti itu wajah Gavin berubah tegang.
"Waktu itu kupikir mungkin kita masih bisa bersikap biasa, tapi nyatanya tetap ada hal yang tidak bisa kembali seperti dulu.""Kau tidak suka aku pacaran dengan Marsya ?" 'Deg !...' pertanyaan Gavin itu langsung tepat mengenai sasaran.
"Hm, aku minta maaf terlambat memberitahumu. Bukan berarti selama ini aku menyembunyikannya." Lanjut Gavin.'Cih, dasar. Masih saja berlagak polos. Memang sengaja kau sembunyikan, kan? Padahal Kak Satya saja sudah tahu. Licik sekali kau. Walau kita tidak punya hubungan apa-apa tapi kau membohongiku. Terus bersikap baik. Kesannya selama ini kau telah menduakanku.' Kesalku dalam hati.
"Ini bukan masalah suka atau tidak suka. Apapun jawabanku tidak akan mengubah kenyataan kalau kita berdua sekarang masing-masing sudah punya pacar." Jawabku beralasan. Tidak mungkin kan aku jujur berkata 'Tidak suka' meski pun dalam hati memang itulah yang sebenarnya.
"Iya sih." Gavin menggaruk-garuk belakang kepalanya yang mungkin tidak gatal.
"Tapi kalau aku boleh jujur, sebenarnya akulah yang tidak suka kau pacaran dengan Shaquille." Aku kaget mendengar perkataannya."Ke... kenapa ?" Tanyaku dengan perasaan berdebar.
"Entahlah. Hanya saja belakangan ini aku jadi sering memikirkanmu. Aku merasa Shaquille bukan orang yang tepat untukmu."
"Haha..." aku tertawa pelan. Padahal disini tidak ada hak yang lucu yang patut ditertawakan. Tawaku terdengar aneh. Tawa tanpa keceriaan dan perasaan senang. Tawa yang hambar.
"Hah? Tapi itu tidak mungkin kan, masa Kak Gavin sampai cemburu pada Shaquille. Bukankah di hatimu hanya ada Marsya seorang ?"
"Aku bukan cemburu. Memang dihatiku hanya ada Marsya. Tapi selain dia, aku juga tidak bisa mengabaikanmu." Gavin membantah.
Kata-kata itu juga pernah kudengar sebelumnya. 'Aku tidak bisa mengabaikanmu.' Shaquille yang bilang. Dan sekarang Gavin pun mengatakan hal yang sama. Dua orang lelaki yang katanya tidak bisa mengabaikanku ini membuatku bingung. Gavin cemburu. Dia juga bilang tidak bisa mengabaikanku. Artinya aku dianggap penting olehnya. Bahkan sampai dibandingkan dengan Marsya. Harusnya aku senang. Tapi kenapa hatiku sama sekali tidak tersentuh? Beda saat Shaquille yang mengatakannya. Apa mungkin aku...
"Syakila... Syakila..." panggilan Gavin membuyarkan lamunanku.
"Kau baik-baik saja ?" Tanyanya. Sku mengangguk pelan, masih merasa gugup."Maaf, aku tidak bermaksud menjelek-jelekan Shaquille." Lanjut Gavin.
"Aku sendiri tidak begitu mengenalnya. Tapi dari yang kulihat orang itu justru lebih sering menyusahkanmu. Dia sama sekali tidak ada niatan untuk serius menjagamu.""Itu tidak benar. Walau terkadang menyebalkan, tapi ada saatnya aku merasa terlindungi. Dia memperlakukanku dengan baik." Bantahku.
"Begitu? Tapi apa dia serius menyukaimu? Hubungan kalian sampai dirahasiakan di sekolah. Lalu kudengar juga kalau Shaquille itu..."
"Cukup. Aku tahu siapa Shaquille. Meski dia tidak bilang, aku tahu dia menyukaiku." Aku kembali menyela.
'Syakila, bisakah kau menyukaiku ?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Shivviness[END]
Teen FictionSuatu ketika aku bermimpi. Berlari tanpa arah di tengah jalan berkabut. Dan batu kecil pun bisa membuatku jatuh tersandung. Dengan rasa sakit, tak mampu berdiri sendiri. Aku menengadahkan kepala dan melihat sosok samar orang yang kusukai. Dia hanya...