Jenong? Aku tahu panggilan itu. Tapi masa sih harus dia lagi. Perlahan kuangkat wajahku yang sedari tadi hanya memperhatikan piring makan siangku. Mataku menyusuri sepasang tangan putih yang memangku wajah seorang pria diatas meja. Satu seringai licik khasnya tertampang disana. Orang itu...
Shaquille Melviano."Uhuk..uhuk..uhuk..." aku terbatuk-batuk. Makananku nyangkut ditenggorokan. Benar-benar kaget melihat orang ini duduk di depanku sampai membuatku tersedak.
"Pelan-pelan dong, Syakila." Icha lekas menepuk-nepuk punggungku sambil menyodorkan segelas lemon tea.
"Nih, minum dulu."Langsung saja aku meneguknya sambil tak melepaskan pandanganku dari Shaquille yang terkekeh geli melihatku gelagapan.
"Iya Syakila. Tenang saja. Jam istirahatkan masih 20 menit lagi."
Aku mengalihkan pandanganku, menatap sosok lain yang duduk disebelah Shaquille. Cowok berambut pirang itu nyengir sambil meletakkan kedua tangannya dibelakang kepala. Barusan dia yang bicara. Nathan Calvin.
Melihat lagi kesebelahnya, dan kulihat Kak Samuel juga duduk dengan tenang sambil tersenyum seperti biasa dengan matanya yang menyipit.
"Makanya jangan terburu-buru. Itu juga tidak baik untuk pencernaanmu." Lanjut cowok berkulit albino itu, alias Kak Samuel. Aku kembali menatap mereka satu per satu.
"Icha, apa-apaan ini ?" Bisikku pelan sambil menyeka ujung bibirku yang sedikit basah sehabis minum tadi.
"Apa maksudmu Syakila ?" Icha mengernyit heran.
"Kenapa kita atau mereka bisa duduk disini ?" Kupandangi ketiga senior yang duduk didepan kami.
"Hihi... kau lucu Syakila. Tentu saja karena mejanya kosong. Lalu kita atau mereka mau duduk dimana lagi kalau tidak disini ?"
Aku memutar pandanganku. Melihat sekeliling. Suasana kantin memang ramai sekali sampai tak kulihat ada meja kosong lain di sekitar kami yang cukup untuk menampung tiga orang.
"Syakila tidak suka kami duduk disini ?" Tanya Samuel.
"Ah, bukan begitu Kak. Silahkan saja." Ucapku jadi tak enak hati.
Aku menghela nafas, menatap sebal ke arah Shaquille. Buatku sih makan satu meja dengan siapapun tidak masalah. Hanya saja kenapa harus dengan dia juga? Bikin nafsu makanku hilang seketika.
"Untuk apa kau tanyakan lagi, Nyet. Mana bisa junior mengusir senior. Cari mati dia." Kata Shaquille disertai senyum meremehkannya.
"Jangan ketus begitu, Mbing. Orientasikan sudah lewat, gak perlu lagi kita formal antara senior-junior. Kalian biasa saja, tidak perlu sungkan pada kami. Iya kan, Syakila? Ayo lanjutkan makannya." Kata Nathan yang mulai menyantap Pop mie dihadapannya.
"Sttt.." Icha menyenggol lenganku,
"Mereka tahu namamu? Sejak kapan kalian jadi akrab ?" Bisik Icha."Aku tidak akrab dengan mereka." Bantahku cepat.
"Cuma pernah sekali ngobrol pas aku minta tanda tangan.""Ah, iya benar. Tanda tangan eh maksudku stempel Melviano." Nathan menyela perkataanku.
"Syakila, kudengar hari itu kau malah meninggalkan buku catatanmu pada Shaquille. Harusnya bagian penukaran kartu, kan langsung saja temui Saaqib." Kemudian Nathan melirik Shaquille.
"Tapi kartunya sudah kau berikan padanyakan, Mbing? Aku titipkan itu padamu lho."
"Iya. Tentu saja. Dia sudah dapatkan kartu pelajarnya." Kata Shaquille sambil menatap tajam padaku. Terlihat masih marah gara-gara kejadian kemarin.
"Hanya saja urusan diantara kami belum selesai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Shivviness[END]
Roman pour AdolescentsSuatu ketika aku bermimpi. Berlari tanpa arah di tengah jalan berkabut. Dan batu kecil pun bisa membuatku jatuh tersandung. Dengan rasa sakit, tak mampu berdiri sendiri. Aku menengadahkan kepala dan melihat sosok samar orang yang kusukai. Dia hanya...