16. Bertengkar

29 16 3
                                    

         Aku mencoba mengibaskan tangan Shaquille menjauh, tapi dia lekas menghindar dan tangannya menyenggol cup puding strawberry-ku. Cup itu bergulir dari atas meja dan detik berikutnya...

         'Prang...'
Aku terdiam sesaat,menyaksikan puding yang sudah jatuh berantakan di lantai itu.

"Pu..ding.. ku.." gumamku dengan persaan menyesakkan.

         Itu puding pemberian Gavin. Belum sempat kumakan. Bahkan aku berniat tidak memakannya sekarang. Tapi malah hancur. Sia-sia.

"Eh, sorry.. gak sengaja. Aku ganti deh." Kata Shaquille.

         Bagiku waktu seolah terhenti. Yang terasa hanya debaran jantung yang berpacu cepat. Dadaku terasa panas. Emosiku meluap. Lalu tanpa sadar tanganku...

         'Byuurr...'
Tanganku bergerak sendiri meraih gelas lemon tea didekatku, lalu menumpahkannya tepat di wajah Shaquille.

"Wah ?!"

"Syakila..."

"Shaquille..."

         Semua orang terkejut. Kurasakan tatapan mereka tertuju pafa kami.

"Kau, beraninya..." desis Shaquille sambil menyeka wajahnya yang basah, memandangku penuh amarah.

"Hei! Hei! Udah cukup. Hentikan! Masa betengkar cuma karena berebut kentang goreng." Nathan coba melerai.
"Mbing, kamu yang salah. Sana minta maaf sama Syakila."

"Enak aja." Ucap Shaquille tidak terima.

         Pandanganku mulai kabur, terhalang cairan bening yang mendadak berkumpul dipelupuk mataku. Kugigit bibir bawahku yang mulai bergetar. Melihat wajahnya. Melihat Shaquille, aku sudah benar-benar muak. Aku benci dia.

         Tanpa basa-basi kulangkahkan kakiku pergi dari tempat itu. Menghiraukan Icha yang berteriak memanggilku.

"Syakila !"

.

.

.

         Kujalani hariku seperti biasa. Bangun pagi, berangkat ke seklah, belajar, bermain dan bersenda gurau bersama teman. Pulang ke rumah, bercengkrama dengan keluarga, menonton acara TV yang membosankan atau mengerjakan PR dibantu Satya, lalu pergi tidur. Mengharapkan mimpi indah dan hari esok akan lebih baik.

         Hari ini pun begitu. Ini akan jadi hari bahagia untukku. Setidaknya itulah yang kupikir sejak semalam. Perasaan yang berbunga-bunga. Mendapat telepon dari Gavin. Menanti esok saat akhirnya aku bisa menyatakan perasaanku.

         Dalam mimpi pun bahkan tak terlintas sesuatu yang buruk. Indah. Semuanya indah dan aku bahagia. Itu cukup bagiku. Tapi kemudian...

Apa ini ?...
Tidak sesuai harapanku.
Hancur.
Semuanya hancur.
Karena orang itu, hari bahagiaku berubah menjadi buruk.
Aku benci padamu, Shaquille Melviano!

.

.

.

"Syakila, benar kau tidak apa-apa ?" Tanya Icha untuk kesekian kalinya. Masih saja mata birunya itu menatapku cemas.

         Dia masih memikirkan kejadian siang tadi. Saat jam istirahat aku pergi begitu saja dari kantin setelah tak bisa lagi menahan emosi dan bertengkar dengan Shaquille.

         Ya, si Shaquille itu. Aku memang tak mengharapkannya mengejarku, tapi dia sama sekali tidak menyusul atau punya niat baik untuk meminta maaf. Tentu saja itu karena sikap arogan atau harga dirinya yang selangit. Seorang Melviano minta maaf? Apa kata dunia? Aku tahu itu.

Shivviness[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang