3. Stempel Melviano

52 23 6
                                    

         Seluruh peserta langsung membubarkan diri. Berlarian mengerumuni para senior. Aku masih berdiri dengan santai ditengah hilir mudik meminta tanda tangan. Sewaktu kuperiksa kembali buku catatanku masih ada sekitar 20 tanda tangan senior lagi yang harus dilengkapi.

        Aku mendengus berjalan malas menuju antrian. Lagi-lagi hanya melakukan hal konyol. Memangnya senior itu selebritis? Begitu pentingnya tanda tangan mereka. Andai mereka artis pun aku tak sudi memintanya.

"Tinggal berapa lagi Syakila? Aku sudah penuh lho." Icha datang menghampiriku. Dengan bangga diperlihatkannya kolom tanda tangan miliknya yang telah terisi semua.

"Wah, bagus. Sini pinjam!" Pintaku langsung merebut buku miliknya.

"Hei! Mau curang ya ?" Protes Icha. Pintar juga dia langsung bisa menebak apa yang hendak kulakukan.

"Cuma tanda tangan dibuku catatan doang, bukan di atas materai. Dipalsukan juga gak masalah. Berbaik hati dikitlah. Kitakan teman. Oke ?" Dengan seksama kutiru tandatangan senior yang belum kudapatkan di kolom kosong buku catatanku.

"Hmm...Syakila..syakila. Kau tipe orang yang tak mau berusaha ya? Orang bahkan rela dikerjain dulu demi dapat tanda tangan. Eh, kau tinggal salin."

"Aku juga sudah usaha. Hanya saja aku lebih cerdas dengan mengambil jalan pintas. Lagian kan cuma tanda..." Aku terhenti sesaat. Tertegun menatap simbol berlambang MV dibuku catatan Icha yang mengisi kolom tanda tangan Shaquille.

"Ini bercanda,kan? Kok distempel segala?" Cengangku tak percaya.

"Kak Shaquille, ya?" Icha tersenyum puas.

"Mampus tuh! Gak bisa ditiru, Syakila. Sana usaha, minta tanda tangan sendiri sama ketua Kedisiplinan." Icha lekas merebut kembali buku catatan miliknya.

"Selamat berjuang !!" Seru cewek itu sambil ngacir.

"Uuh, blagu banget. Tanda tangannya pasti jelek sampai pakai stempel segala." Aku mencibir sambil melirik tajam sosok Shaquille dikejauhan.

"Ah, sial !" Gerutuku, sambil berjalan mendekat dan lekas berdiri dibelakang antrian orang-orang yang meminta tanda tangan Shaquillle.

         Shaquille duduk di bawah pohon rindang dan dikelilingi banyak orang. Yang antri untuk meminta tanda tangannya seakan tak pernah habis. Begitu populerkah cowok itu? Bahkan bila seandainya tidak ada acara minta tanda tangan pun mungkin antriannya tetap panjang.

         Dia begitu terkenal. Biarpun sebagai ketua Kedisiplinan, di cap sebagai senior tergalak, Shaquille tetap jadi favorit. Kepopulerannnya diantara siswa baru setara dengan Kak Nathan Calvin yang menjabat sebagai ketua OSIS.

         Aku sendiri bukannya tak tertarik. Cowok yang sekarang tingkat dua itu memang tampan dan bertubuh tinggi ideal. Terlihat keren dengan potongan rambut Curtain-nya. Gayanya santai dan simple. Tapi sekarang yang kulihat, apa bagusnya cowok blagu, sombong, kejam, sadis, dingin tiada tara itu. Terlebih lagi aku terlanjur dibuatnya kesal gara-gara peristiwa dilempar kacang hijau. Sekarang semua yang ada pada dirinya malah membuatku muak. Ya, aku muak.

         Terlebih lagi bukankah sejak awal kupikir minta tanda tangan itu perbuatan yang konyol. Apalagi harus berhadapan satu lawan satu dengan Shaquille. Si cowok blagu itu. Padahal yang mengantri masih banyak dan waktu juga semakin sempit dan aku masih harus melengkapi tiga senior lain untuk meminta tanda tangan mereka. Tapi Shaquille malah santai-santai dengan menjahili satu per satu juniornya sebelum buku catatan mereka diberi stempel.

"Payah. Menyebalkan." Kutatap kembali sosok Shaquille yang terpaut sepuluh orang dihadapanku. Sekilas kami beradu pandang. Aku tak bisa lagi bersabar. Tak bisa lagi menahan diri.

"Persetan dengan tanda tanganmu." Dengusku kesal seraya melangkahkan kaki keluar dari antrian dan pergi menjauh

"Aku tak butuh."

_________________________________________

         Syakila masuk ke Bridge School dengan tujuan untuk mengejar cintanya terhadap Gavin. Tetapi disana malah dia harus selalu berurusan dengan Shaquille, senior yang paling suka mengusiknya. Diakhir Masa Orientasi Siswa, Syakila memutuskan untuk tidak meminta tanda tangan Shaquille.

"Persetan dengan tanda tanganmu." Dengusku kesal seraya melangkahkan kaki keluar dari antrian dan pergi menjauh.

"Aku tak butuh."

         Syakila belum menyadari justru karena keputusannya itulah kelak dirinya akan semakin terlibat masalah dengan Shaquille.

.

.

.

         Siang ini aku merasa lelah. Bukan karena seharian kesana-kemari berkeliling sekolah mencari seseorang tapi, lebih pada hatiku. Menyebalkan. Rasanya seperti disuruh menjilat kembali ludah sendiri. Tempo hari aku tak menganggap tanda tangan Shaquille begitu penting, hingga aku tak bersusah payah untuk mendapatkannya.

         Lalu saat hari pembagian kartu pelajar dilakukan, para senior itu bekerja sama. Katanya aturan tetap aturan. Dantentu saja tak kudapatkan hakku bila tidak kupenuhi dulu kewajibanku.

"Makanya kubilang juga apa, bukannya dari waktu itu sih. Jadinya sekarang susah,kan? Sana cari sendiri. Usaha Syakila, usaha. Kau jangan cuma mau enaknya saja. Ayo cari! Syukur-syukur kalau ketemu itu juga karena katanya Kak Shaquille itu suka keluyuran."

         Sialan bahkan Icha pun ikut meledek. Mungkin ini yang namanya karma. Aku dihukum atas ketidaksopananku. Mengumpat dibelakang, memaki senior, membangkang, mengabaikan perintah, bersikap acuh tak acuh. Dan kurasa Icha benar, bahwa aku memang kurang berusaha. Padahal aku ingin secepatnya memperlihatkan kartu pelajar itu pada Gavin.

"Kakak, lihat nih! Aku juga siswa Bridge." Kataku penuh kebanggaan.

"Wah, bagus sekali Syakila." Balas Gavin sambil mengelus-elus rambutku dengan lembut.

"Aku senang sekali Kak Gavin. Kalau begini aku sudah boleh jadi pacarmu, kan?"

"Tentu saja Syakila."

"Wah, Kak Gavin." Aku berhambur kedalam pelukannya.

         'Huff...' aku menghela nafas kecewa. Karena adegan itu masih hanya dalam khayalanku saja.

"Tak ada pilihan lain aku harus segera mencari Kak Shaquille." Dengusku pasrah. Kembali menyusuri sudut-sudut sekolah.

Tbc

Shivviness[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang