"Ini cuma salah paham kok. Sampaikan pada Marsya bahwa aku tidak apa-apa."
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu." Gavin menaruh sebelah tangannya diatas bahuku.
"Terima kasih ya Syakila.""Heh, kau !" Seru seseorang datang menyela. Aku menggulirkan pandangan melihat Shaquille yang berdiri tidak jauh dari kami. Wajahnya datar, dengan tatapan sinis kearah Gavin.
"Beda dengannya, aku ini lebih cemburuan lho. Jadi tolong kau sendiri jangan bersikap sok akrab begitu dengan pacarku." Lanjut Shaquille.
Aku kaget mendengar perkataannya yang serius itu. Gavin lekas menurunkan tangannya dari bahuku dan tersenyum samar.
"Maaf. Tapi Syakila sudah kuanggap seperti adikku sendiri sih."
"Cih, tapi kau kan bukan Satya."
"Kau kenal Kak Satya juga ?"
"Ya, kami bahkan sangat akrab."
"Begitu..."
"Hm."
"Hentikan Shaquille..." bujukku padanya. Melihat mereka berdua, masing-masing seperti sedang memancing emosi dan bersiap berkelahi.
"Kau..." desis Shaquille tampak tidak suka aku lebih membela Gavin.
"Ya, ya, baiklah. Cukup. Jangan bertengkar cuma karena aku. Mulai sekarang aku akan jaga sikapku. Puas kau Shaquille ?"
"Hm." Shaquille hanya mengangkat sebelah alisnya.
"Melihat kalian berdua sampai cemburuan begitu, sepertinya kalian memang cocok dan saling mencintai."
"Bukan begitu. Kak Gavin, aku..."
"Baiklah, kalau gitu sampai nanti Syakila." Pamit Gavin sambil berbalik, bersiap untuk pergi.
"Bersikaplah biasa." Kataku kemudian, berhasil menghentikan langkah Gavin sejenak.
"Bersikaplah seperti biasanya padaku. Aku juga akan bersikap biasa padamu.""Iya." Jawab Gavin sambil mengangguk dan tersenyum.
Kemudian Gavin kembali melangkahkan kaki. Aku terdiam sesaat memperhatikan sosok itu berlalu pergi. Shaquille mendengus, mendelik padaku.
"Lihat. Betapa menyedihkannya dirimu. Kau yakin masih bisa bersikap biasa saja padanya ?"
Aku diam saja. Shaquille benar. Dalam hatiku pun juga merasa tidak yakin. Selama aku masih menyukai Gavin, aku sendiri tidak tahu cara bersikap biasa padanya sekarang itu seperti apa.
.
.
.
"Pagi." Sapaku dengan tidak bersemangatnya masuk ke kelas. Beda dengan Icha yang tampak ceria menyambutku.
"Pagi Syakila !" Aku berjalan menuju mejaku, meletakkan tas dan duduk sambil memangku wajah dengan kedua telapak tangan. Kemudian menghela nafas panjang.
"Lho, tampang madesu apaan tuh? Harusnya buat yang baru jadian itu full smile everyday. Kemarin sukses besar kan Syakila ?".
"Hm..." aku hanya mengangkat sebelah alisku. Icha masih belum tahu kejadian kemarin. Boro-boro jadian aku malah ditolak mentah-mentah, bahkan sakit hati sebelum kuutarakan perasaanku.
"Syakila..." menyadari sikapku yang diam. Icha mulai menatap cemas.
"Katakan padaku yang sebenarnya !" Bentak gadis itu, bicara dengan gaya menginterogasi."Kemarin kau jadi bertemu Gavin ?" Aku mengangguk pelan.
"Kau sudah utarakan perasaanmu ?" Aku kembali mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shivviness[END]
Teen FictionSuatu ketika aku bermimpi. Berlari tanpa arah di tengah jalan berkabut. Dan batu kecil pun bisa membuatku jatuh tersandung. Dengan rasa sakit, tak mampu berdiri sendiri. Aku menengadahkan kepala dan melihat sosok samar orang yang kusukai. Dia hanya...