'Tuk...' Satu cup puding strawberry tiba-tiba sudah ada diatas nampan makan makan siangku. Tentu puding itu tidak muncul begitu saja. Bukan pula aku yang membelinya. Jam istirahat makan siang hari ini lagi-lagi aku terlambat mengantri, sehingga puding Bridge yang terkenal itu pun sudah terjual habis. Lalu dari mana asalnya? Kualihkan pandanganku menatap sosok yang kini berlalu pergi setelah meletakkan puding itu diatas nampan tanpa basa-basi.
"Setidaknya bilang 'ini buatmu', atau 'maaf untuk yang kemarin', atau 'nih pudingnya kuganti, dimakan ya' gitu. Dingin banget sih Kak Shaquille itu." Kata Icha menanggapi apa yang baru saja dilihatnya. Ya, Shaquille-lah yang barusan memberikan puding ini untukku.
"Tapi ternyata dia baik juga mau mengganti pudingmu. Kalau ingat kejadian waktu itu, kau pergi begitu saja setelah menyiram wajahnya. Suasana kantin langsung heboh. Kak Shaquille marah-marah kesal, cuma karena puding kau sudah mempermalukannya di muka umum. Tapi saat kubilang itu bukan sembarang puding. Puding itu pemberian Gavin untuk Syakila, raut wajahnya langsung berubah. Apa mungkin saat itu dia merasa bersalah."
Sesaat aku termenung mendengar cerita Icha. Kalau kuingat kembali Shaquille pernah berkata, 'Aku hancurkan pudingnya. Tapi kupikir itu lebih baik daripada kelak dia menyesal sudah makan makanan busuk itu.'
Dia bilang begitu setelah tahu Gavin yang memberikannya."Hm... kurasa dia tidak mungkin sampai merasa bersalah. Kata maaf pun tidak dia ucapkan." Kataku.
"Benar juga." Icha mengangguk setuju.
"Tapi setidaknya dia mengganti pudingmu. Itu artinya dia peduli.""Ya, aku tahu." Sebanyak apa dia sudah peduli padaku. 'Terima kasih' ucapku dalam hati, sambil tersenyum melihat punggung lelaki Uchiha itu.
Biarpun tidak banyak bicara, namun aku tahu dibalik sikap dinginnya tersimpan kehangatan lebih dari siapapun. Dan bila kuingat setiap hal yang dilakukannya, perlahan tapi pasti semua itu mampu menggetarkan hatiku. Memikirkannya dengan perasaan aneh yang masih belum kumengerti.
"Wah, wah, wah... apa maksud senyumanmu itu Syakila? Jangan bilang kau sekarang suka sama Kak Shaquille." Ucap Icha dengan tatapan penuh selidik.
"Tidak." Jawabku malu-malu, lekas menyantap nasi goreng yang kupesan.
"Untuk yang sekarang sebaiknya kau menyerah saja dari awal. Jangan sampai kejadian seperti Gavin kemarin terulang. Kak Shaquille sudah punya pacar,terimalah kenyataan itu."
'Uhuk... uhuk...'
Mendengar kata-kata Icha barusan hampir membuatku tersedak. Lekas kuambil minumanku dan menegaknya sedikit. Memukul dadaku pelan yang terasa sesak supaya lebih lega. Aku kembali menatap Icha."Soal gosip yang waktu itu maksudmu ?" Icha mengangguk mantap.
"Bukan gosip. Ini asli." Mata hijauku melotot.
"Benarkah ?"
"Orang yang pertama kali menyebarkan foto itu sekaligus saksinya sudah ketemu. Memang sulit dipercaya, tapi Kak Shaquille pun bahkan tidak membantah. Jadi ini sudah pasti benar. Wah, beruntung sekali ya gadis itu punya pacar setampan dan sekeren Kak Shaquille. Seorang Melviano gitu loh. Dia pasti gadis yang cantik dan super manis sehingga bisa menarik hati orang seperti Kak Shaquille. Irinya..."
"Hah, hahaha..." aku hanya tertawa hambara mendengar Icha yang begitu terpesona. Apa jadinya kalau nanti dia tahu gadis yang dibicarakannya itu aku? Yang justru Shaquille anggap bodoh, jelek, jenong, cengeng, emosinonal, kasar, tidak manis dan tidak menarik.
"Tapi kasihan juga kalau nanti sampai ketahuan GPS." Lanjut Icha. GPS ya. Grup fanatiknya Shaquille. Memang pasti sangat murka dengan kejadian ini.
"Kira-kira apa yang akan mereka lakukan pada gadis itu ?" Tanyaku sedikit was-was.
"Entah... tapi kuharap gadis berkuncir itu sudah siap mental menghadapi mereka." Icha hanya mengangakat bahu cuek.
"Gadis berkuncir ?" Tanyaku penasaran.
"Iya, saksinya bilang gadis itu rambutnya dikuncir. Tapi tidak tahu jelas seperti apa. Bisa saja itu Kak Tarissa, senior kelas tiga yang sering dikuncir samping itu. Atau Thea si anak China dari kelas sebelah yang dikuncir dua. Atau aku yang pirang berekor kuda, hehe.. tapi jelas bukan aku kan. Atau..." Icha memperhatikan rambutku.
"Rambut milikmu juga dikuncir Syakila." Glek.. Aku menelan ludah. Mendadak merasa tegang."Begitu ya. Ee... kalau misalkan itu aku, bagaimana menurutmu ?"
"Hm..." Icha memicingkan mata, memperhatikanku dari atas hingga ke bawah.
"Apa bagusnya dirimu Syakila ?" Tanyanya. Langsung bikin aku kecewa. Shaquille juga menanyakan hal yang sama. Apa aku sungguh tidak punya pesona?"Ke-pe-de-an ihh..." lanjut Icha dengan sedikit ledekan.
"Hhhh..."
.
.
.
Sebelum kuhabiskan makan siangku, Icha pamit terlebih dahulu. Gadis yang lagi kasmaran itu tega meninggalkanku sendirian demi bersama Samuel yang kebetulan lewat dan mengajaknya pergi ke ruang klub melukis. Samuel ingin menunjukkan karya terbarunya yang akan diikutsertakan dalam kompetisi. Aku juga diajak, tapi malas bila harus pergi bertiga bersama mereka. Untuk apa aku menemani mereka, sedangkan nanti malah justru dianggap pengganggu.
Dan jadilah disini aku seorang diri. Melamun sambil memainkan puding pemberian Shaquille. Tadinya aku ragu untuk memakannya. Sungguh tidak penting. Padahal disimpan juga tidak berguna. Maka kuputuskan untuk sedikit mencicipinya.
Dingin namun terasa manis dan lembut. Rasa puding itu langsung mengingatkanku pada orang yang memberikannya. Hm, Kak Shaquille...
"Ehem, sendirian aja nih." Sapa seseorang. Aku mengalihkan pandangan, menoleh.
"Kak Gavin..." kaget juga aku melihatnya disini mendekatiku.
"Hai Syakila." Balasnya ramah sambil tersenyum.
"Ini..." tangannya yang terulur hendak memberikan semangkuk puding. Namun terhenti begitu melihat tanganku juga sudah ada puding yang sama."Apa itu untukku ?" Tanyaku penasaran. Gavin mengangguk.
"Iya, kukira kau tidak sempat beli lagi hari ini."
"Terima kasih, tapi aku... aku sudah mendapatkan ini dari Shaquille." Kupandangi puding di tanganku yang kini sudah habis setengahnya.
"Oh, iya." Raut wajah Gavin berubah
datar."Jadi aku terlambat memberikannya." Gumam lelaki itu pelan. Tampak kecewa.
"Tapi kau masih mau makan dua puding kan ?" Tanyanya setengah bercanda."Sepertinya nggak tuh." Aku terkekeh sambil menggeleng pelan.
"Aku berikan ini khusus untukmu lho Syakila." Gavin menaruh pudingnya diatas meja. Lelaki berambut pirang itu lekas mengambil tempat duduk dan duduk dihadapanku. Memangku wajah dengan kedua tangan.
"Diterima ya, please..." katanya sambil memasang wajah sok imut.
Aku lekas menutup mulutku dengan sebelah tangan. Tertawa. Melihat Gavin sekarang memohon seperti ini justru membuatku tertawa. Mungkin kalau aku yang dulu pasti akan dengan senang hati menerimanya. Bodohnya aku yang dulu, membuang hal yang kumiliki sekarang demi kebaikan kecil yang dia berikan.
"Tidak bisa. Seperti katamu ini sudah terlambat." Jawabku kemudian. Entah kenapa persoalan yang dibahas kini rasanya bukan sekedar tentang puding.
"Yahh..." Gavin kecewa.
"Baiklah. Kalau begitu lain kali saat kuberikan lagi kau harus menerimanya ya Syakila." Tangannya terulur, hendak menyentuhku. Namun refleks aku langsung menepisnya."Eh, maaf gak sengaja." Kataku, jadi merasa tidak enak.
Gavin tampak kecewa, tapi tidak lama kemudian dia kembali tersenyum. Walau terlihat sangat dipaksakan.
"Sekarang kau berubah. Tidak mau kuajak bercanda seperti dulu. Apa karena Shaquille ?"
"Eh? Aku berubah ?"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Shivviness[END]
Teen FictionSuatu ketika aku bermimpi. Berlari tanpa arah di tengah jalan berkabut. Dan batu kecil pun bisa membuatku jatuh tersandung. Dengan rasa sakit, tak mampu berdiri sendiri. Aku menengadahkan kepala dan melihat sosok samar orang yang kusukai. Dia hanya...