11. Give and take

29 18 1
                                    

"Aku bisa pulang sendiri."

"Kalau gitu, boleh aku bicara sebentar dengan Syakila ?" Tanya Shaquille.

"Mau bicara apa ?" Balasku makin tak mengerti apa mau orang ini sebenarnya.

"Cepat katakan !" Shaquille melirikku dan Satya bergantian.

"Benar boleh langsung kukatakan sekarang ?"

"Katakan saja !" Kataku sedikit sebal.

"Soal ciuman kemarin..." 'Ehh..' mataku langsung membulat.

"Cukup! Jangan teruskan." Teriakku sambil menyilangkan kedua tangan dihadapan Shaquille. Jantungku berdebar kencang, tindakan orang ini selalu saja mengejutkanku. Sedikit kulirik wajah Satya, kuharap dia tidak mendengar ucapan Shaquille barusan.

"Kakak, aku mau bicara berdua dulu dengan Shaquille." Kataku.

"Hm, baiklah. Aku akan tunggu di gerbang depan ya, Syakila. Santai saja." Kata Satya yang langsung melangkah pergi meninggalkanku dan Shaquille.

          Aku menatap tajam Shaquille yang terkekeh pelan disebelahku.

"Apa sih maumu ?" Tanyaku.

"Mempermainkanmu." Jawabnya singkat disela tawa. Aku mendengus, menahan kesal.

"Kenapa? Semarah ini padaku gara-gara surat cinta? Kalau itu sebabnya, aku minta maaf. Jadi tolong berhenti mempermainkanku." Sebelah alis Shaquille terangkat masih tersenyum meremehkan, dia menatapku.

"Tadinya memang begitu, tapi sekarang aku punya alasan lain. Kau itu menarik. Tiap kali melihatmu aku jadi ingin mengganggumu."

"Hah? Alasan macam apa itu?" Cengangku tidak mengerti.

"Atau jangan-jangan sebenarnya.." aku jadi berdebar sendiri memikirkan kemungkinan yang satu ini. "Kak Shaquille suka padaku ?" Gumamku pelan. Harap-harap cemas.

"Hahaha". Shaquille tertawa.

         Eh, dia tertawa. Semudah itu. Aku nyaris tak percaya melihatnya. Kalau sekedar senyum atau tawanya yang meremahkan sih sudah sering kulihat. Tapi sampai tertawa dengan selebar itu, ekspresi yang benar-benar langka dari seorang Shaquille.

"Ehem, itu mustahil kan." Lanjut Shaquille yang tak lama kemudian langsung berwajah datar. "Jangan berkhayal."

"Ih, aku juga tidak mau." Aku bergidik.

"Ah, karena si rambut pirang itu ya ?" Tanya Shaquille. "Padahal dia bukan pacarmu, kan ?" Aku menatap Shaquille. Kenapa dia tahu tentang Gavin?

"Terserah padaku mau suka pada siapa. Itu bukan urusanmu." Balasku.

"Hm." Shaquille hanya melirik. Kembali bersikap cuek.

         Melihatnya seperti itu, aku pikir tidak ada hal penting yang akan dibicarakannya. Makanya dengan kesal aku pun melangkah pergi. Dia memang hanya mau mempermainkanku.

"Heh, Jenong !" Seru Shaquille. Aku tak mempedulikan panggilan itu dan tetap berjalan.

"Kau mau pergi begitu saja tanpa membawa kartu pelajarmu ?" Teriaknya.

"Eh..." aku kembali menoleh dan kulihat tangan Shaquille mengibas-ngibaskan sesuatu.

"Syakila Qirani. Bridge School. X-1. Tahun ajaran 20xx - 20xx. Lengkap dengan foto jelekmu." Lanjut Shaquille membaca informasi di dalam sana dan menunjukkan lembaran kartu tipis itu ke hadapanku.

"Kartu pelajarku !" Senyumku mengembang melihat kartu pelajar itu.

         'Bagaimana bisa ada padanya ?' Heranku dalam hati. Tapi aku tidak peduli. Yang penting itu benar-benar kartu pelajarku. Lekas saja aku kembali menghampiri Shaquille. Aku sangat senang. Akhirnya, kartu pelajarku.

Shivviness[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang