13. GPS

27 18 0
                                    

"Eh, kau ini siswa Bridge School ya ?" Mata gadis itu memperhatikan badge di atas saku blazerku. Aku mengangguk.

"Iya. Seragam itu.. kau pasti murid sekolah Pelita Harapan."

"Iya. Kau kelas berapa? Aku kenal beberapa siswa Bridge School.
Ehmm... sebenarnya pacarku juga sekolah disitu."

"Oh ya? Aku anak kelas satu. Pacarmu ?"

"Kelas dua." Jawab Marsya.

"Siapa namanya ?"  /  "Kau turun disinikan ?" Tanyaku dan Marsya bersamaan.

         'Ckiittt...' Mendadak bus berhenti. Kulayangkan pandanganku melihat sekeliling. Ternyata ini sudah sampai di halte tujuanku.

"Iya aku turun disini. Kalau gitu aku duluan, Marsya." Kataku.

"Sampai jumpa, Syakila." Ucap Marsya sambil melambaikan tangannya. Sekilas aku tersenyum melihat kearahnya.

"Iya sampai jumpa." Kata itu seolah mengisyaratkan kami akan bertemu kembali.

.

.

.

         Lima orang siswi datang tampak seperti Geng menyeret paksa seorang gadis biasa masuk ke dalam toilet. Mendorongnya dengan kasar hingga menabrak tembok. Sebentar dia meringis kesakitan memegangi kepalanya yang tadi sempat terbentur.

         Salah satu dari geng tersebut, seorang gadis rambutnya dicat merah sepunggung yang dandanannya paling mencolok. Memakai gelang, rok seragam sekolah pendek dan blazer ketat yang dilinting sesiku. Memandang sinis padaku dari balik kacamatanya ketika kami tidak sengaja berpapasan.

         Aku yang baru saja keluar dari pintu toilet lekas menghindari tatapannya sebelum dia salah paham. Cepat berjalan menuju wastafel dan berpura-pura tak tahu apa-apa. Meski sesekali aku sedikit mencuri pandangan dari dalam cermin sementara aku mencuci tangan. Penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan.

"Ma..mau apa kalian ?" Tanya si gadis lugu itu dengan suara bergetar. Sama seperti tubuhnya yang gemetaran tampak ketakutan saat kelima cewek itu mengelilinginya tanpa celah.

         Si gadis berambut merah tadi yang sepertinya pemimpin dari geng itu, mulai maju mendekat. Sebelah tangannya terangkat. Baik aku maupun si gadis lugu sempat merasa takut. Mengira dia akan menamparnya, tapi ternyata hanya menepuk-nepuk pipi gadis itu pelan.

"Kau masih tidak tahu apa salahmu ?" Tanyanya dengan suara rendah, tapi tetap terdengar menusuk.

         Gadis lugu itu menggeleng pelan, menutup bibirnya rapat-rapat. Tampak bola matanya menatap sendu.

"Dasar tak tahu diri !" Bentak si gadis berambut merah kemudian sambil membingkai wajah si gadis lugu itu dengan sebelah tangannya. Mengangkat dagu gadis itu.

"Kau.. orang sepertimu masih berani-beraninya mencoba mendekati  Dia ?!"

"Aaa.. aku tidak tahu apa maksud kalian. Lepaskan aku." Pintanya sambil meronta, mencoba melepaskan diri. Tapi dua anggota geng yang lain dengn sigap memegangi lengan si gadis lugu itu hingga benar-benar terkekang.

         Suasana semakin tegang. Melihatnya begitu, aku baru sadar. Jangan-jangan ini ya, yang namanya bully.

"Harusnya kau menurut dari awal peringatanku yang pertama. Setelah ini tidak akan ada lagi peringatan ketiga, Sherly. Sekali lagi kau berani berkeliaran dengan menjijikan disekitar Dia, aku akan benar-benar membuatmu menyesal."

"Iya. Iya aku mengerti, Keysa. Maafkan aku." Kata Sherly, si gadis itu benar-benar memohon. Cairan bening yang sedari tadi menumpuk dipelupuk matanya mulai mengalir membasahi pipi.

Shivviness[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang