39. Karena aku mencintaimu

19 8 3
                                    

"Hihihi... ini ciuman kita yang ke berapa ya setelah yang pertama kita lakukan disini ?" Aku tertawa pelan.

"Yang pasti bukan yang terakhir." Shaquille kembali mendaratkan bibirnya.

         Dengan mudah kecupan ringan itu menjadi french kiss. Saling melumat. Memainkan lidah. Bertukar saliva. Dan...

"Ekhem..." sela seseorang yang langsung merusak suasana romantis diantara kami.

"Kak Gavin." Kaget juga aku melihat pemuda itu muncul dan berdiri di ujung anak tangga paling bawah. Sekilas dia tersenyum.

"Maaf mengganggu. Tapi lain kali jangan ciuman di tengah jalan dong. Cari tempat lain."

"Hehe..." aku tertawa menanggapinya. Sementara Shaquille berdecih kesal.

         Kehadiran Gavin memang selalu merusak suasana hatinya. Meski pun ini sudah lama berlalu sejak terakhir kali mereka bertengkar memperebutkanku.

         Ah, kesannya aku sombong sekali sampai jadi bahan rebutan dua cowok tampan ini. Tapi itulah faktanya pemirsa, haha...

"Mau kemana Kak ?" Tanyaku sedikit berbasa-basi.

"Ke kelas. Ada barang yang ketinggalan." Jawab Gavin.

"Oh, gitu..." aku hanya menganggukkan kepala, pura-pura mengerti.

         Sementara Shaquille sudah mendelik sebal padaku. Dia memang paling tidak suka kalau melihatku mulai bersikap sok akrab dengan Gavin. Jadi kuputuskan untuk menyudahi saja pembicaraan kami.

"Kalau gitu cepat Kak, sebelum ada yang mengambilnya." Kataku sambil mempersilahkannya lewat. Gavin mengangguk setuju.

"Iya, harusnya kusadari itu. Cepat diambil sebelum diambil seseorang. Karena setelah hilang aku pasti akan menyesal." Aku tersenyum kaku mendengar perkataannya yang seperti sedang membicarakan hubungan kami bertiga.

         Kaki jenjang lelaki itu pun mulai melangkah menaiki tangga. Shaquille lekas menarikku semakin dekat dengannya ketika Gavin berjalan mendekati kami. Sekilas mata hijau milik Gavin melotot.

"Oh ya, kulihat hubungan kalian berdua baik-baik saja ya." Gavin berhenti sejenak dan kembali menoleh.

"Cih, tentu saja. Memang apa yang kau harapkan hah ?"balas Shaquille.

"Aku mengharapkan kebahagiaan Syakila." Jawab Gavin. Membuatku terkejut. Tidak kukira dia akan berkata seperti itu.
"Kau menjaganya dengan baikkan ?" Lanjut pemuda itu.

"Tidak perlu cemas. Kau lihat dia tidak kekurangan apapun kan ?"  Kata Shaquille.

"Hm.. baguslah kalau begitu." Gavin mengalihkan pandangannya kembali menatapku.

"Syakila, kalau kau tidak bahagia bersamanya cari aku ya." Lanjut pemuda itu sambil bercanda. Tapi langsung membuat Shaquille naik darah. Dan aku hanya terkekeh pelan.

"Jangan harap !" Kata Shaquille sambil melingkarkan kedua tangan kokohnya memelukku dari belakang.

"Kau itu cuma masa lalu. Sedangkan aku sudah berikan masa depan pada Syakila." Perlahan tangan itu mengusap-usap perutku. Aku jadi geli dibuatnya.

"Ehh, Shaqi..." apa sih yang sedang dipikirkannya? Sengaja melakukan ini di depan Gavin. Membuat cowok berambut pirang itu pun terbelalak kaget.

"Wah, hubungan kalian sudah sampai sejauh itu? Kalau begitu selamat ya." Gavin sedikit tersenyum.

         'Hah? Selamat untuk apa ?' Terheran sesaat. Aku menjadi heran dan tidak mengerti. Sementara Shaquille menyeringai dan terlihat puas.

"Sampai nanti Syakila."  Pamit Gavin disertai senyum tipisnya kembali melangkah pergi meninggalkan kami.

"Ihh, untuk apa kau lakukan itu di depannya? Orang bisa salah paham dan mengira aku sedang hamil, bodoh !" Kesalku tidak percaya, ketika akhirnya kusadari maksud Shaquille saat mengusap perutku tadi. Sejenak Shaquille tertawa.

"Haha... baguskan. Biar dia gak berani macam-macam. Biar dia tahu kau sudah sepenuhnya jadi milikku."

"Sialan kau. Jangan bercanda soal 'itu' dong. Kau mau nanti tersebar gosip yang tidak-tidak mengenai aku? Kita bahkan belum pernah melakukannya."

"Tapi beberapa kali hampirkan..." goda Shaquille. Langsung membuatku merona.

         Sementara jari-jarinya perlahan menelusuri bibir, leher, dan langsung kuhentikan sebelum turun melewati satu kancing kemejaku yang terbuka.

"Kau gila. Jangan lakukan disini !" Marahku padanya. Tapi cowok itu cuma tersenyum sambil memasang wajah tidak bersalah.

"Kenapa pikiran cowok selalu mesum gitu sih? Kalau sikapmu seperti ini aku merasa kau hanya senang mempermainkanku. "Lanjutku sambil cemberut.

"Padahal tadi seenaknya kau bicara tentang masa depan sampai sejauh itu dengan begitu meyakinkan dihadapan Gavin." Shaquille mengganguk. Kedua tangannya menggenggam erat tanganku.

"Aku tidak main-main. Aku sungguh ingin berikan masa depan itu untukmu. Lima tahun, tidak. Mungkin bisa lebih cepat dari itu. Syakila aku serius ingin menjadikanmu seorang Melviano." Shaquille menatapku lekat.

         Mataku membulat seiring degup jantung yang berpacu cepat. Aku terkejut mendengar perkataannya. Sementara kurasakan wajahku memanas. Pasti merona seperti Shaquille yang tampak dengan semburat merah di kedua belah pipinya.

"Shaquille, jangan bercanda lagi. Kau berkata seolah kau sedang melamarku sekarang."

"Hm. Kenapa? Tidak suka? Kupikir Syakila Melviano cukup bagus." Shaquille mengerucutkan bibirnya.

"Aku tidak percaya. Ini masih terlalu cepat. Apa kau yakin? Serius mau bersamaku selamanya ?

"Tentu saja." Mata hitamnya itu mengunci tatapanku. Sementara kedua tangan Shaquille beralih merengkuh wajahku. Mengangkatnya sedikit lebih tinggi.

"Karena aku mencintaimu." Bisik Shaquille kemudian.

         Dia mengucapkan kata yang paling kusuka. Yang membuatku tersenyum dan merasa bahagia. Kemudian ku ucapkan pula kalimat yang paling dia suka.

"Kak, aku juga mencintaimu..."

         Shaquille tersenyum, lalu mendaratkan bibirnya dengan mulus diatas bibirku.

==0==0==0==0==END==0==0==0==0==

Akhirnya selesai juga. Terima kasih buat kalian yang udah menyempatkan waktu untuk membaca cerita ini.

Oke see you guys..🤗😘

Shivviness[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang