9. Tragedi di kamar mandi

36 18 0
                                    

"Syakila." Panggil Satya. Aku sedikit melirik kearahnya.

"Terus terang aku lebih suka kalau kau bukan dengan si Gavin itu."

"Eh, memangnya kenapa ?" Tanyaku heran. Ucapannya barusan terdengar serius sekali. Satya mendengus, memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana boxernya.

"Aku benci melihat rambut pirangnya yang seakan mau menyaingi aku, Hahaha." Ucapnya sambil berlalu pergi.

"Hah ?" Aku langsung terheran.

.

.

.

"Kakak.. toiletnya sebelah mana ya ?" Tanyaku sebentar menginterupsi kegiatan Satya yang mulai menyelesaikan kembali tugas kuliahnya. Berkutat dengan laptop dan kertas-kertas catatan. Padahal beberapa waktu lalu masih asyik bermain-main, tapi sekarang bisa seserius ini. Aku heran bercampur kagum.

"Oh, belok kiri pintu paling ujung." Jawab Satya tanpa sedikit pun melepaskan pandangannya dari laptop.

         Aku menghela nafas, rasanya sebal juga dicuekin seperti ini. Harusnya tadi aku langsung minta pulang dan tidak perlu makan siang segala.

"Mau kemana Syakila ?" Tanya Irsyad yang berpapasan di pintu.

"Kamar mandi." Jawabku.

"Wah, kamar mandi yang di ujung sana masih di pakai Keenan tuh."

"Hah? Ya ampun, tuh anak masih aja belum selesai mandi ?" Satya tercengang.

"Namanya juga anak Mermaid." Irsyad hanya mengangkat bahu.

"Keasyikan main air kali dia. Udah dari pagi berenang di kolam juga nggak puas." Timpal Harits.

         Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan dan siapa itu Keenan si anak Mermaid. Masalahnya sekarang aku sudah kebelet nih, 'terus' aku menatap lekat- lekat Kak Irsyad.

"Kau bisa pakai yang dilantai dua." Kata Irsyad seolah mengerti apa yang ingin kutanyakan.

"Dari tangga ini naik, belok kanan, lurus, pintu sebelah kiri ya !"

"Ya. Makasih.." ucapku langsung bergegas pergi.

         Seperti yang tadi diarahkan Irsyad. Aku baru saja naik ke lantai dua, berbelok ke kanan dan berjalan lurus menuju pintu sebelah kiri. Perlahan aku membuka pintu itu, yang memang tidak dikunci. Begitu aku membukanya...

"Kyaaa..." aku langsung menjerit. Spontan terkejut melihat sesuatu didalam sana.

.

.

.

         Orang itu membeku. Mata hitamnya membulat, menatapku sama terkejutnya. Sesaat kami hanya saling bertatapan.

         Air menetes dari ujung-ujung rambut hitamnya yang basah. Turun menyusuri wajah dan tubuhnya. Dada yang bidang dengan otot-otot tamgan dan perut yang terbentuk sempurna. Tubus polos itu tampak atletis.

         Untung saja antara bagian pinggang hingga lututnya terhalang handuk yang masih sempat dia lingkarkan. Jadi setidaknya aku yakin kalau aku tidak melihat sesuatu dibalik handuk itu yang akan mebuatku semakin shock. Membayangkannya saja sudah membuat ku malu. Kenapa aku bisa sampai berpikiran kotor seperti ini ?

"Kyaaa..." aku lekas berbalik, menutupi wajahku dengan kedua tangan. Merutuk dalam hati.

'Sial, kenapa aku harus melihatnya? Kenapa harus dia? Ini sungguh kebetulan yang mengerikan.

Shaquille Melviano?'

.

.

"Heh !" Suara pria itu terdengar memanggil.

         Aku tidak berani berbalik. Tapi kemudian sebelah bahuku dicengkramnya, memaksaku untuk menghadap kearahnya. Menatap lurus mata hitam itu. Jantungku berdegup kencang. Entah kenapa masih shock dengan kejadian tadi atau karena jarak kami sekarang yang sangat dekat.

         Shaquille mendorongku hingga merapat ke tembok. Tangan kanannya dia letakkan disisi dekat kepalaku, seolah menghalangiku untuk melarikan diri. Aku bisa saja berontak mendorong Shaquille agar menjauh dariku. Tapi aku ragu jika harus menyentuh tubuhnya yang masih setengah telanjang. Semakin membuatku serba salah. Belum lagi wangi sabun dari tubuhnya yang tercium harum menusuk hidungku. Sedikit memabukkan. Aku suka aroma ini.

         'Glek...' aku menelan ludah. Berusaha menghalau perasaan tegang  dalam diriku. Kalau sekedar melihat tubuh seorang lelaki setengah telanjang sih, aku sudah terbiasa dengan kakakku. Seperti tadi saat Satya hanya memakai celana boxer-nya, aku tak merasa risih. Tapi masalahnya ini orang lain. Shaquille pula orangnya. Rasanya aku ingin mengubur diriku saja. Sungguh aku merasa malu.

"A..apa ?" Aku beranikan diriku bertanya.

"Kau.." Shaquille menatapku lekat-lekat, "Lihat sesuatu ?" Tanyanya. Entah kenapa refleks aku mengalihkan pandanganku kebagian bawah tubuh Shaquille yang berbalut handuk.

"Hm.." cowok itu mengikuti arah pandanganku. Menyadari apa yang kulihat, aku terbelalak dan cepat mengalihkan pandanganku ke arah lain sebelum dia salah paham.

"Tidak. Aku tidak melihat apapun." Jawabku cepat.

"Hah? Benarkah ?" Shaquille menyeringai.

"Me..memang apa yang harus kulihat ?" Bentakku kesal."Kau berharap aku melihatnya, ya ?!"

"Lihat apa ?" Shaquille mengangkat sebelah alisnya.

"Itu.." Mati aku, harus jawab apa? Orang ini benar-benar..

         'Pletak' sentilan keras mengenai keningku.

"Dasar jenong! Mesum juga kau."

"Sakit.." aku meringis, mengusap-usap keningku.

"Siapa yang mesum?! Kau sendiri, kan? Dasar gila. Kunci dong pintu kamar mandinya."

"Haha...terserah aku. Rumahku ini. Lagian aku gak nyangka bakal ada orang yang datang mengintip." Balas Shaquille.

"Apa? Siapa yang mau mengintip?" Cengangku.

"Ya kau. Memang tadi siapa yang tiba-tiba masuk ?"

"Aku tidak akan masuk kalau pintunya kau kunci !" Balasku tak mau kalah.

"Jadi ini salahku, hah ?" Bentak Shaquille. "Enak saja."

"Aku juga gak salah. Ini kecelakaan. Memangnya aku mau lihat tubuh ceking mu itu."

"Hah? Siapa yang ceking? Orang se-atletis aku." Sejenak Shaquille terdiam, memperhatikanku dari atas hingga ke bawah kemudian menyeringai.

"Kau sendiri, memangnya punyamu lebih bagus ?" Aku lekas menutupi tubuhku dengan kedua tangan. Memberikan tatapan mematikan padanya.

"Jangan kurang ajar! Dasar mesum !"

"Mesum? Ah, jadi ingat yang kemarin..." Bisik Shaquille sambil mengangkat tangan kirinya. Langsung saja kutepis saat tangan itu hendak menyentuh wajahku. Tapi dia malah balik mencengkram pergelangan tanganku.

"Lepas !" Bentakku, sambil menyentakkan tanganku. Tapi cengkraman Shaquille semakin erat. Satu senyuman tipis terlukis di wajah cowok itu.

"Mempermainkanmu menarik sekali, Syakila." Lanjutnya seraya mendekat.

"Kyaaa..." aku berteriak. Takut. Takut dia melakukan sesuatu padaku.

"Hei, ada ribut-ribut apa ini ?!" Seru seseorang. Membuatku  dan Shaquille langsung menoleh kearah sumber suara itu. Mendapati Irsyad dan Satya di ujung lorong mulai berjalan menghampiri kami.

"Shaquille ?" Tanya Irsyad.

"Syakila ?" Tanya Satya.

"Kakak." Kataku dan Shaquille nyaris bersamaan.

"Eh ?" Kami berdua jadinya kembali bertatapan. Aku merinding mengetahui kenyataan ini.

Tbc

Shivviness[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang