6. Ingat tragedi di tangga

40 20 2
                                    

         Mata hitamnya bertemu mata hijau milikku. Sesaat kami terdiam. Masih dalam posisi dia memelukku dari belakang. Mendadak suasananya terasa lain. Jantung ini masih berdebar kencang. Tapi berbeda dengan yang tadi. Perasaan apa ini? Apa karena aku tidak pernah berada sedekat ini dengan seorang cowok selain kakakku?

         Shaquille juga sepertinya merasa begitu. Tatapan mata kami tak bisa lepas. Dekat. Sangat dekat. Sampai kemudian aku merasakan hembusan nafas hangatnya dan bibir lembut Shaquille diatas bibirku.

"Cup.."

"Aaaaa..." aku lekas melepaskan diri dari pelukannya dan menjauh.

"Apa yang kau lakukan ?!" Bentakku padanya. Kesal. Aku merasa sangat kesal sekarang.

"Hm." Shaquille yang masih dalam posisi setengah berbaring balas menatapku dengan wajahnya yang tampak tak bersalah.

         Dengan punggung tangan, kuseka bibirku berulang kali. Tak sudi barusan dicium olehnya. Ciuman pertamaku. Yang kujaga baik-baik untuk kuberikan pada orang yang paling kucintai, malah dicuri olehnya.

         Masih menatapku, Shaquille mengecap kembali bibirnya. Satu senyuman tipis terlukis di wajah cowok itu.

"Manis. Rasa cherry. Aku suka." Aku membelalak tak percaya mendengar kata-katanya.

"Mesum. Dasar mesum !" Teriakku sambil menendang kakinya keras. Kulemparkan buku catatanku yang tergeletak dilantai ke wajahnya. Dan langsung berlari pergi meninggalkan cowok itu sendirian. Berharap dia sekarat saja setelah jatuh dari tangga tadi.

         Aku menyumpahinya.

.

.

.

         Langkahku terhenti saat melihat Gavin yang berdiri diujung lorong yang masih menungguku. Menyadari kehadiranku, cowok itu lekas menghampiriku.

"Urusanmu sudah selesai ?" Tanyanya sambil tersenyum. Aku menatapnya nanar. Menggigit bibirku untuk menahan tangis.

"Eh, kenapa Syakila ?" Gavin tampak cemas melihatku yang datang dengan penampilan kacau.

"Jatuh dari tangga." Jawabku dengan suara yang bergetar. Dengan seksama dia memperhatikan keadaanku.

"Kau tidak apa- apa ?" Aku hanya menggeleng pelan.

"Ini sakit ?" Dia mengangkat lengan kiriku yang tanpa kusadari ternyata ada bekas luka gores disana.

"Sudahlah ayo kita obati dulu lukamu." Ajak Gavin sambil menuntunku.

'Sakit. Yang sakit bukan lukaku. Tapi hatiku.'

.

.

.

         Aku baru saja selesai mandi. Dan masih sibuk mematut diri di depan cermin. Setelah menyisir rapi rambut hitam sepunggungku, kupakaikan bando merah diatasnya sebagai pemanis. Serasi dengan kemeja putih dan celana jins overall yang kukenakan. Pakaian casual sehari-hari. Setelah itu sedikit kusapukan bedak tipiske atas wajahku, sekedar untuk melindunginya dari sinar UV. Toh tidak berdandan pun aku sudah cantik 'hahaha' pikirku narsis.

         Lalu terakhir, kuambil lip-gloss cherry favoritku dari atas meja rias. Kuperhatikan kembali bibirku yang memang sudah tampak merah alami. Aku sudah bersiap mengoleskannya keatas bibir tipisku. Tapi kemudian terhenti saat aku teringat akan sesuatu. Bibirku dan lip-gloss rasa cherry ini...

         Membuka kembali kenangan menjijikan kemarin sore.

"Manis. Rasa cherry. Aku suka."

"TIDAK !!!" Teriakku histeris, mengingat kata-kata itu, disertai ekspresi wajahnya yang tak bersalah. Menyeringai seakan puas.

"Shaquille Melviano SIAL !!"

Terbayang kembali 'saat itu'. Debaran jantung yang abnormal. Tatapan mata yang tak bisa lepas. Hangatnya hembusan nafas dari wajah yang bergerak semakin dekat. Dekat dan sangat dekat. Hingga kemudian tak ada lagi jarak diantara kami, saat bibir itu mendarat dengan mulus diatas bibirku. Lalu melumatnya. Entah kenapa saat itu respon otakku seakan melambat. Dan baru kusadari apa yang sedang dilakukannya ketika sesuatu yang kenyal menerobos masuk menekan lidahku.

"TIDAK!! TIDAK!! TIDAK!! TIDAK!! TIDAK !!" teriakku kesal.

         Aku menggeleng- gelengkan kepala, berusaha mengeyahkan pikiran itu.

"Benar- benar gila. Kenapa aku bahkan bisa dengan detail mengingat semuanya." Gerutuku semakin kesal sambil menghentak-hentakan kakiku.

"Kyaa.. Shaquille sialan. Ciuman itu untuk Gavin-ku seorang tahu. Seenaknya kau curi. Dasar mesum!! Kyaa.."

         Aku melompat ke atas tempat tidur dan mengamuk. Mengambil bantal, membayangkan itu wajah Shaquille lantas memukulnya keras-keras.

"Rasakan ini. Dasar mesum! Senior blagu! Harusnya kemarin kau kubuat babak belur seperti ini. Kau pikir kalau kau senior, kau boleh berbuat seenakmu. Stempel Melviano bodohmu itu ditukar dengan ciuman pertamaku yang berharga, sama sekali tak sebanding. Hiyaaa..." aku makin histeris melampiaskan kemarahanku.

"Kartu pelajarku..." rengekku lagi.

Mengingat betapa bodohnya aku saat itu, saking kesalnya malah meninggalkan buku catatan berisi stempel itu disana. Padahal sudah bersusah payah mendapatkan stempelnya tapi, sekarang semuanya malah hilang. Bagaimana nasib kartu pelajarku?

"Hiks..hiks..hiks." tidak mungkin kan aku datang menemui Shaquille menanyakan buku catatanku. Aku gak mau bertemu dengan lelaki mesum itu, bahkan memikirkannya saja sekarang sudah membuatku muak.

         ' Tring..tring..tring' tiba- tiba ponselku berdering. Langsung saja aku mengambilnya dari atas meja disamping tempat tidur dan cepat menjawab telepon itu.

"APA ?!" Bentakku kasar, yang masih terbawa emosi.

"Heh, apa maksudmu bicara sekeras itu padaku ?" Ucap si penelepon.

"Ehhh.." mataku membulat ketika menyadari suara siapa diseberang sana.

"Kakak !"

         Yang meneleponku itu adalah Satya Adhitama. Kakakku. Usia kami beda empat tahun. Sekarang dia kuliah di Cambridge University. Dan sedang sibuk-sibuknya mengurus beberapa tugas kuliahnya, sampai dua hari ini dia tidak pulang ke rumah.

         Mengapa namaku tidak ada keluarga Adhitama-nya? Sebab saat lahir Omaku yang memberiku nama Qirani karena itu merupakan nama Omaku, dan dia sangat menyayangiku. Bahkan sejak kecil sampai aku berusia 10 tahun aku tinggal dirumah Oma.

         Aku sedikit merindukan wajah baby face-nya Kakakku. Suaranya lembut dan tatapan mata hitamnya yang mempesona. Juga kangen mengacak-acak rambut pirangnya yang membuatku selalu teringat pada Gavin.

"Ckckck.. barusan kau sopan sekali padaku, Syakila." Sindirnya.

"Ma..maafkan aku Kak. Tadi aku sedang kesal. Jadi, tanpa sengaja aku..."

"Iya, baiklah. Aku maafkan." Aku terkekeh mendengarnya.

"Lalu ada apa meneleponku ?"

"Aku mau tanya, sekarang kau sudah sampai dimana?" Tanyanya.

"Eh ?" Aku mengernyit tak mengerti. "Sampai mana apanya ?"

"Lah, emang sekarang kamu masih dimana ?" Tanya Satya lagi.

"Ya di rumah. Aku ada di kamarku." Jawabku cuek. Apa sih maksud kakakku ini? Memang aku harus ada dimana? Pikirku masih tak mengerti.

"Ihh, gimana sih? Kok masih ada dirumah. Aku kan menyuruhmu cepat datang kemari." Satya terdengar kesal. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.

"Kapan? Kemari kemana ?"

"Yahh..kau baca pesan dariku semalam tidak ?" Aku terheran sesaat.

"Pesan yang mana ?"

"Ya ampun, Syakila.." dengus Satya.

Tbc

Shivviness[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang