Tidak terasa, empat hari pun berlalu. Marianne dan orang tuanya setuju untuk mengirim Edward kembali ke London. Selama empat hari ini pula, Rose sibuk menghindari Edward. Ia selalu memperhatikan sekitarnya, berjaga-jaga jika Edward keluar dari kamarnya. Ia juga selalu makan di dalam kamar. Hingga hari ke lima saat Edward pergi, hanya dirinya dan Lord Shrewsbury yang tidak mengucapkan perpisahan.
Lord Shrewsbury berdiri di depan jendela. Tatapannya sibuk mengamati tiga ekor humming bird yang berterbangan di pekarangan mansion. Ia sangat kecewa dengan putranya sekaligus malu. Ada saat dimana ia merasa gagal mendidik Edward. Ia sangat khawatir dengan nasib putri bungsunya yang sampai saat ini belum menikah. Ia tidak tahu bisa bertahan hidup berapa lama lagi. Dengan kelakukan putranya yang seperti ini, ia tidak bisa mempercayakan nasib properti di Hamsphire sekaligus orang-orang yang kehidupannya bergantung dengan properti ini.
"Ayah," panggil Marianne. "Ini teh untukmu," ujarnya sambil meletakkan nampan berisi teko dan cangkir porselen. Marianne mengalungkan kedua lengannya ke leher ayahnya dari belakang lalu berbisik, "Jangan terlalu memikirkannya, Ayah."
Lord Shrewsbury mendesah frustasi, "Ayah tidak bisa tenang, Nak. Bagaimana nasib properti disini? Lalu juga Callie? Jika Edward menghanguskan harta keluarga kita..."
Marianne menyela ucapan ayahnya dengan lembut, "Tidak... Ia tidak akan melakukannya. Ayah tidak perlu mengkhawatirkan Callie. Aku akan memastikan mahar yang Ayah sediakan tetap aman."
Ada jeda sebentar sebelum Lord Shrewsbury merespon, "Anak itu, kenapa ia tidak memberitahu kita?" Marianne tahu siapa yang dibicarakan ayahnya.
"Peter bilang Rose tidak ingin membesarkan masalah ini. Ia sepertinya merasa bersalah."
"Ia sama sekali tidak bersalah. Ibunyalah yang bersalah," tukas Lord Shrewsbury dengan nada bicara yang sedikit meninggi.
"Aku senang Ayah berpikir begitu. Mrs. Anderson sedang berbicara dengannya di rumah kaca."
"Apa ia bisa membantu?" ujar Lord Shrewsbury dengan nada skeptis.
"Ya. Ia telah banyak membantu. Sisanya, bergantung bagaimana Rose merespon bantuan yang diberikan."
♔♔♔
Kumpulan bunga anggrek bermekaran di dalam ruangan yang kelilingi dinding kaca. Marianne selalu memastikan rumah kacanya itu bersih dan para pelayan melakukan tugasnya dengan kompeten. "Lady Brackley menceritakan masalahmu melalui surat lusa lalu," ujar Mrs. Anderson yang tengah sibuk mengamati pot yang berbaris di hadapannya dengan lekat.
"Apa Peter juga memberitahu Ibu?" tanya Rose dengan cepat.
"Tidak," geram Mrs. Anderson. "Anak itu pulang dengan wajah babak belur. Ia hanya bilang bahwa Edward telah menyakitimu, tapi tidak memberitahuku detailnya seperti apa."
Hubungan mereka berdua sudah seperti ibu dan anak. Mrs. Anderson yang dari dulu menginginkan anak perempuan, memutuskan untuk mengangkat Rose sebagai anak angkatnya— meskipun tidak secara resmi.
"Jangan salahkan Peter. Aku sendiri yang memintanya untuk tidak memberitahu Ibu," gumam Rose.
Terdengar desahan napas Mrs. Anderson, ia membalikkan badannya lalu menatap Rose yang memainkan jari-jarinya. "Kenapa kau menyalahkan dirimu sendiri atas kesalahan ibu kandungmu, Sayang? Apa karena anggapan masyarakat disini?" Rose tidak menjawab. Ia sendiri pun tidak tahu alasannya.
"Budaya kalian memang sangat rumit, terutama untuk kaum wanita bangsawan. Aku tidak mengerti, kenapa masyarakat disini sangat mementingkan bibit keturunan. Bagi orang dengan pemikiran yang lebih modern, hal ini sudah dianggap kolot. Sudah ada beberapa orang yang membuktikan, bahwa darah keturunan tidak sepenuhnya menentukan nasib manusia," terang Mrs. Anderson.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond Fate [𝓗𝓲𝓼𝓽𝓸𝓻𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓡𝓸𝓶𝓪𝓷𝓬𝓮]
Historical Fiction🏅2020 Watty Award Winner (Indonesia), Historical Fiction Sempat menduduki Rank : 🥉#3 fiksi sejarah dari 2,02 k cerita. 🏅#1 historical romance dari 352 cerita. 🏅#1 victoria dari 328 cerita 🏅#1 lord dari 483 cerita. 🏅#3 lady dari 444 cerita. ==...