"Bukan urusanmu," ujar Edward datar. Ia merapikan tumpukan dokumen di atas meja mahoni, mengabaikan kakaknya yang berjalan menuju kursi panjang—tempat Edward bercinta dengan Camilla saat tengah malam.
Marianne duduk dengan tenang, ia sibuk memperhatikan burung pipit yang sedang bertengger di jendela. "Ini menjadi urusanku jika kau berniat melamar wanita itu. Jangan lupa bahwa aku ini kakakmu."
Edward tidak membalasnya, ia terus sibuk membereskan dokumennya. Marianne berkata dengan dingin, "Setidaknya pikirkan orang tua kita. Mereka tidak akan menyetujui hubunganmu."
"Aku tidak peduli. Mereka tidak berhak ikut campur. Aku sendiri yang menjalankannya, bukan mereka," balasnya ketus.
"Edward, apa kau lupa skandal yang membuat Camilla terpaksa harus menyingkir ke tempat ini?"
"Tidak, aku tidak melupakannya sama sekali. Itu semua hanya kebohongan, Sis. Sudah berapa kali aku mengatakannya kepadamu. "
"Banyak. Tapi aku tidak menemukan sesuatu yang masuk akal dari penjelasanmu. Kau hanya menarik kesimpulan dari perkataan Camilla. Kenapa kau tidak menemui Mrs. Vernon. Tanya ia, bagaimana ia akhirnya menangkap basah Camilla di rumahnya saat malam hari."
"Cukup. Aku tidak ingin mendengarnya."
"Karena kau takut," geram wanita itu. "Kau takut mendapati apa yang yang selama ini kau yakini ternyata keliru. Kau takut menemukan kebenaran yang tidak sesuai dengan keinginanmu. Aku sudah memperingatkanmu berkali-kali, Ed." Marianne berdiri dengan gusar meninggalkan adiknya yang hanya berdiri mematung.
Jarum pendek pada jam dinding menunjuk angka 11. Marianne menemui pelayannya di dapur. Ia menanyakan apakah keponakannya itu telah sarapan. Jawaban pelayan itu menambah beban yang harus ditanggung olehnya. Ia pun berjalan dengan cepat menuju kamar keponakannya. Kemarin malam, gadis itu hanya memakan setengah daging rusanya. Ia tidak menyentuh sup jamurnya sama sekali. Suaranya tadi pagi pun terdengar sangat rapuh.
Marianne mengetuk pintu kamar Rose dan meneriaki namanya. Tidak ada respon hingga 5 menit berlalu. Panik menerjang Marianne. Ia lalu bergegas meminta pelayan untuk mencari kunci cadangan kamar Rose. Hampir 10 menit berlalu hingga akhirnya pengurus rumah—wanita setengah baya, menusuk kunci ke lubang kunci lalu membuka pintu kamar itu.
Kamar itu agak gelap. Lampu minyak yang sudah menyala semalaman itu tidak bersinar. Hanya ada sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah gorden yang tidak tertutup rapat. Rose meringkuk di atas kasur putih mewah. Selimut putih membungkus badannya hingga dibawah dadanya. Ia terbaring lemah tak berdaya disana, tampak sangat rapuh seolah-olah kehilangan cahaya kehidupan. Rambut pirangnya tergerai berantakan di atas tumpukan bantal.
Hanya dalam sekejap, Marianne mendekati gadis rapuh itu. Kegelapan masih menelan gadis itu seolah-olah tidak ingin melepaskannya. Ia memperhatikan wajah putih pucat yang dipenuhi keringat di dahi dan lehernya. Napasnya agak terengah.
Marianne menyentuh pipi Rose dengan lembut. Ia memekik panik. "Badannya panas sekali!" serunya. Pengurus rumah yang masih berdiri di ambang pintu mendekati atasannya. Marianne berseru tanpa melepaskan pandangannya dari Rose. "Segera panggil Dokter King lalu minta pelayan menyiapkan air hangat dan handuk."
"Oh, bawakan selimut yang tebal juga," tambahnya. Wanita setengah baya itu dengan gesit melaksanakan perintah nyonyanya. Marianne sibuk memandang wajah pucat keponakannya yang mulai memerah akibat demam sambil mengelap keringat di dahi Rose dengan sapu tangannya. Suaminya memasuki ruangan itu dengan tergesa-gesa. Ia menghampiri istrinya, meremas lembut bahunya yang lemas. "Ia akan baik-baik saja, Sayang. Kita sudah cukup sering menghadapi masalah ini," gumam pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond Fate [𝓗𝓲𝓼𝓽𝓸𝓻𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓡𝓸𝓶𝓪𝓷𝓬𝓮]
Ficción histórica🏅2020 Watty Award Winner (Indonesia), Historical Fiction Sempat menduduki Rank : 🥉#3 fiksi sejarah dari 2,02 k cerita. 🏅#1 historical romance dari 352 cerita. 🏅#1 victoria dari 328 cerita 🏅#1 lord dari 483 cerita. 🏅#3 lady dari 444 cerita. ==...