Udara di luar terasa jauh lebih sejuk daripada di dalam. Tidak ada kebisingan. Hanya ada suara percakapan samar dan hembusan angin lembut yang meniup tanaman hias di balkon. Rose perlahan mulai merasa jauh lebih mudah bernapas. Ia memandang taman indah yang dihiasi air mancur buatan di tengahnya. Rose menempatkan kedua tangannya yang masih terbungkus sarung tangan di pagar balkon.
"Apa kau ingin kembali ke hotel saja, Sayang?" tanya Mrs. Anderson lembut. Rose tampak bingung harus menjawab apa. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Tapi.... Melihat sosok pria itu membuatnya diterjang oleh berbagai emosi yang sulit untuk ditanggung secara sekaligus. Edward berubah menjadi orang asing baginya. Namun ada sesuatu. Sesuatu yang ia sendiri tidak tahu harus menyebutnya apa.
Oh, ia merindukan pria itu, namun secara bersamaan, ia tidak sanggup menatapnya. Kepalanya terasa semakin pening. Ia berusaha untuk menghapus bayangan Edward di kepalanya namun gagal. "Satu jam lagi, lalu kita pulang," lirih Rose. Mrs. Anderson berpikir sejenak sebelum membalas, "Baiklah. Kita akan ke dalam setelah kau merasa lebih baik."
Sekitar 15 menit kemudian, mereka kembali memasuki ruangan yang semakin ramai. Mrs. Anderson mengajak Rose menuju meja panjang yang dipenuhi aneka kudapan. Mereka mencoba beberapa kudapan yang menarik di mata mereka. Diam-diam Rose mencari Edward di seluruh penjuru ruangan namun ia tidak ada. Mungkin ia sudah pergi, pikir Rose.
Tidak lama setelah Rose menyelesaikan kudapan, seorang pria berbadan gagah layaknya seorang prajurit mengajaknya berdansa. Rose menepis keraguannya. Ia pun menerima genggaman pria itu lalu menuju lantai dansa bersama sekitar 20 pasangan lainnya. Semuanya berjalan lancar sebelum ia menangkap sosok Edward yang sedang berdansa dengan seorang gadis muda bergaun soft pink.
Rose merasa tidak asing dengan perempuan muda itu. Sejenak, ia baru ingat. Ia gadis yang sama. Wallflower yang duduk bersamanya tadi. Binar matanya tampak bahagia. Sepertinya Edward merupakan pria pertama yang mengajaknya berdansa. Wajah Edward sulit dibaca. Di mata Rose, sepertinya pria itu merasa bahagia sekaligus marah. Ia sibuk menebak apa yang ada dipikiran pria itu.
Sialnya, kesibukkannya itu justru melenyapkan konsentrasinya. Lagi-lagi, ia menginjak kaki pasangan dansanya, dua kali berturut-turut. Semburat perasaan bersalah menghantuinya. Rose menatap pasangan dansanya dengan raut wajah cemas, "Maafkan aku," lirihnya.
"Cobalah untuk fokus," sahut pria itu dengan suara yang sedikit kasar. Nada suara itu justru membuat Rose semakin merasa bersalah. Konsentrasinya hancur berkeping-keping seperti piring porselen yang pecah. Kepingannya terlalu kecil untuk disatukan kembali. Sialnya, Rose menginjak kedua kaki pria itu lagi. Pria itu berusaha untuk menahan gumaman kasar. Syukurnya, mereka hanya perlu melakukan 2 putaran lagi. Setelah menepi, pria itu merendahkan badannya dengan hormat. Melalui ekspresi wajahnya, Rose tahu bahwa pria itu menyesal telah mengajaknya berdansa.
Suara gumaman wanita di belakangnya menarik perhatian Rose. "Sejak dulu, ia memang tidak pandai berdansa." Rose mengenali suara itu. Ia pun berbalik, menatap wanita yang sedang memandangnya seolah-olah dirinya adalah sampah. Itu Louisa, teman sekelasnya saat ia pindah ke sekolah baru. Gadis itu memang senang meledeknya, melebih-lebih kesalahannya hingga terdengar ia seolah-olah melakukan kesalahan yang sangat besar.
Beberapa bisikan lainnya berhamburan. Rose merasa tidak tahan dengan kepekatan udara di sekitarnya. Ia berbalik menghadap hamparan pasangan yang sedang berdansa. Tanpa sengaja, tatapan Rose menangkap sosok Edward yang sedang menepi bersama pasangan dansanya tadi. Ia mencium punggung tangan gadis itu dengan lembut hingga menimbulkan rona merah muda di pipi mulus itu. Tidak lama kemudian, Edward menatap Rose yang sedang menatapnya.
Tatapan mereka tertahan selama beberap detik namun rasanya seperti berjam-jam bagi Rose. Secara impulsif, Rose membalik badannya. Mrs. Anderson— yang dari tadi sibuk menyantap kudapan, melangkah ke arahnya. Rose berusaha menahan berbagai gelombang emosi yang menohok dadanya. Korsetnya terasa semakin menusuk dadanya, menyebabkan ia sulit bernapas. "Kau ingin pulang, Nak?" tanya Mrs. Anderson dengan nada cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond Fate [𝓗𝓲𝓼𝓽𝓸𝓻𝓲𝓬𝓪𝓵 𝓡𝓸𝓶𝓪𝓷𝓬𝓮]
Fiction Historique🏅2020 Watty Award Winner (Indonesia), Historical Fiction Sempat menduduki Rank : 🥉#3 fiksi sejarah dari 2,02 k cerita. 🏅#1 historical romance dari 352 cerita. 🏅#1 victoria dari 328 cerita 🏅#1 lord dari 483 cerita. 🏅#3 lady dari 444 cerita. ==...