dua belas

1K 153 81
                                    

"Jawab!"

Suara keras itu sukses membuat gadis kecil terbangun dari tidurnya. Ia terbangun dengan kepala yang sedikit pusing akibat bangun yang tiba-tiba.

Jaerin turun dari kasur dan membuka pintu kamar sedikit. Memberikan efek suara yang lebih jelas ketika dua orang dewasa di depannya saling beradu mulut.

Air mata Jaerin perlahan turun, ia menutup mulutnya berusaha agar suara tangisnya tidak terdengar.

Ia menghela napas kasar saat mendengar teriakan ayahnya mendominasi rumah tersebut. Ayah yang dulu sangat Jaerin sayang kini mulai menunjukkan sifat aslinya. Ia kini sadar, ayahnya tak sebaik itu.

Jaerin terlalu kecil untuk mengetahui masalah yang terjadi antar kedua orang tuanya. Yang pasti ia tidak suka ketika mereka mulai bicara menggunakan nada tinggi. Apalagi ayahnya, dia selalu menaikkan nadanya ketika bicara dengan ibunya yang sangat lembut.

Jaerin tidak suka ini, Jaerin tidak suka dengan apa yang sedang terjadi. Teriakan kedua orang tuanya mengelilingi otak Jaerin. Kepalanya terasa pusing, napasnya menggebu-gebu menahan marah dan tangis.

Plakkk!!!

Jaerin masih kecil, tapi ia tahu suara itu tercipta akibat tamparan yang mendarat di pipi ibunya. Parahnya, ayahnya yang melakukan hal keji tersebut.

Jaerin menatap nanar ibunya yang terduduk lemas. Ia hanya bisa menatap di balik pintu yang terbuka sedikit. Ia ingin sekali memeluk ibunya, tapi tak berani. Mengapa? Ia takut ayahnya masih ada di sekitar rumah.

Jaerin berbalik, meraih tas putih yang tadi Mina bawa dan merogoh tas tersebut. Diraih sebuah benda tipis di dalamnya.

Jaerin anak yang pintar, ingatannya masih belum penuh dengan hiruk pikuk dunia, ia masih ingat ketika ibunya memainkan benda tipis tersebut.

Ponsel Mina tidak dikunci. Dalam ponsel tersebut terpampang foto Mina dengan Jaerin di gendongannya. Foto tersebut Mina jadikan homescreen.

Jaerin menekan tombol telepon.

Ia masih belum bisa baca, jadi gadis polos itu hanya menekan nomor paling atas yang ada di log panggilan ponsel tersebut—nomor yang terakhir kali ditelepon.

"Mina?"

Suara parau lelaki mendominasi telinga kanan Jaerin. Ia tidak tahu sama sekali pemilik suara tersebut.

Gadis kecil nan lugu itu hanya menjawab, "T-tolong, mama nangis. Pa-pa—"

Jaerin tak kuasa menyebut nama ayahnya sendiri.

Tapi ia anak yang kuat, ia akan melakukan segala hal untuk ibunya.

"Pa-pa p-pukul mama." ujarnya terbata-bata untuk menahan tangis.

"Jaerin? Ini Jaerin?!"

"Heem." Jaerin mengangguk lemah, walau lelaki di seberangnya tidak bisa melihat anggukan pasrah tersebut.

"Jaerin tunggu sebentar ya, saya kesana sekarang."

Jaerin menatap ponsel yang sudah berbunyi tanda oanggilan berakhir. Tangisnya masih mengalir namun tak bersuara.

Di luar kamar, ibunya masih menangis kesakitan. Pasalnya, sakit yang dirasa bukan hanya wajahnya, tapi hati, mental, dan fisiknya.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
REWRITE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang