Bagian Dua Belas | He Is...

37.6K 3K 128
                                    

Bismillahirrahmanirrahim.

Updated on: Senin, 29 Juni 2020
Republish: Sabtu, 12 Maret 2022

***

Selamat membaca cerita Keisya dan Zaid.

Vote sebelum membaca dan tinggalkan komentar.

Follow Ig : ayusumbari

Bagian 12 | He Is...

()()()

Allah itu maha Rahman.

Dia menyayangi hamba-Nya, baik yang taat atau pun yang ingkar. Allah memberi begitu banyak nikmat kepada setiap manusia, kepada setiap makhluk yang bernyawa. Kepada dia yang taat, Allah memberikan banyak kebahagiaan dan juga ujian. Tapi, Allah itu memang tidak adil. Yah, karena Allah lebih banyak memberikan kebahagiaan daripada kesedihan. Bukankah itu timpang? Tidak adil bukan? Namun, kita masih saja mengeluhkan banyak hal bahkan sampai memaki Allah hanya untuk menuntut sebuah keadilan. Allah memberi banyak rezeki, kesehatan dan kesempatan.

Seperti kisah Nabi Ayyub Alaihissalam, yang menderita sakit selama 18 tahun, tapi tidak  sekalipun beliau pernah berdoa untuk kesembuhannya. Kenapa? Karena Nabi Ayyub merasa dia tidak pantas memintanya, dia malu mengadu atas rasa sakitnya. Kehilangan harta, kehilangan anak, dan kehilangan kesehatan. Namun, Nabi Ayyub tidak menuntut Allah atas apa yang menimpa dirinya. Beliau bersabar dan terus beribadah, mengatakan dalam hati yang beriman bahwa semuanya hanya titipan yang suatu hari nanti akan diambil.

Puluhan tahun Nabi Ayyub hidup dalam kemewahan, kebahagiaan, dan juga tubuh yang sehat. Karenanya, dia merasa malu jika meminta kepada Allah sedangkan ujiannya bahkan tidak sampai setengah waktu di mana Allah memberinya kebahagiaan. Jika Nabi saja yang suci dari dosa, memiliki iman seluas samudera, lalu siapa kita? Kita hanya manusia biasa yang kerap kali mendahulukan logika, begitu susah menerima takdir dan ujian dari Sang Kuasa, sering sekali mengeluh bahkan menjauh dari Dia yang memberi waktu untuk menghirup udara.

Zaid mengusap wajahnya lemah ketika dirinya merasa dia tidak bersyukur. Meminta dan memaksa Allah untuk mengabulkan doanya padahal dia hanya hamba tak berdaya dan penuh akan dosa. Siapa Zaid yang berhak mengatur Allah atas segala keegoisannya sebagai manusia? Zaid beristighfar dalam hati, menundukkan kepalanya dalam-dalam, menikmati rasa takut jika Allah mengambil Keisya. Namun, sekali lagi semuanya hanyalah titipan.

***

Mata bening itu perlahan terbuka, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya di sekelilingnya. Wanita dengan bibir pucat itu mengerutkan kening ketika sadar kini dirinya sedang berada di rumah sakit. Sudah berapa lama? Keisya kembali mengingat malam itu. Malam di mana dia berlari meninggalkan Zaid karena sakit di hatinya, berlari sejauh mungkin hingga tercebur di kolam renang. Setelahnya, Keisya tidak tahu apa lagi bahkan dia berpikir itu adalah hari terakhirnya.

Alhamdulillah. Keisya berucap syukur dengan lisannya. Allah masih memberinya kesempatan untuk bernapas, melakukan kebaikan dan menebus setiap kesalahan. Wanita dengan baju pasien bewarna biru langit dan hijab instan sedada itu mengedarkan pandangan, menatap ruangan putih berbau obat itu guna mencari seseorang yang mungkin bisa ditanyainya. Di mana suaminya? Di mana putrinya?

Keisya memegang kepalanya yang pening. Kenapa ruangannya sepi, apa tidak ada yang menunggunya? Sedetik kemudian, pintu ruangannya dibuka. Wanita itu mengerutkan kening heran—sangat heran. Dia kira yang datang adalah Zaid atau keluarga suaminya, tapi buka. Yang datang adalah laki-laki yang pernah ditemuinya beberapa tahun lalu ketika dia ikut pertukaran pelajar di Turki. Perlahan tapi pasti, laki-laki itu mendekat dengan senyuman merekah seolah ini adalah hari paling membahagiakan untuknya.

KEISYA (Tolong, Cintai Aku Juga) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang