Bagian Enam Belas | Tangisan Berlian

33.6K 2.6K 99
                                    

Bismillahirrahmanirrahim.

Updated on: Minggu, 26 Juli 2020
Republish: Senin, 21 Maret 2022

***

Selamat membaca cerita Keisya dan Zaid.

Vote sebelum membaca dan tinggalkan komentar.

Jangan lupa follow Ig aku : ayusumbari

Bagian 16 | Tangisan Berlian

()()()

Sudah satu minggu Keisya dinyatakan koma. Kondisinya sekarang benar-benar lemah. Waktu untuk mencari pendonor sumsum tulang belakang pun semakin sedikit yang tersisa. Selama satu minggu Zaid juga tidak pernah meninggalkan Keisya walau hanya sebentar, dia selalu duduk di samping sang istri untuk bercerita dan juga membaca Al-Qur'an. Zaid benar-benar merasa tak berdaya ketika semua tentang Keisya rasanya seolah lenyap. Tidak ada Keisya yang tersenyum, tidak ada Keisya yang tertawa, dan tidak ada Keisya yang sangat suka bercerita banyak hal. Zaid rindu Keisya yang cerewet, bukan Keisya yang sekarang hanya diam dengan mata terpejam dan juga mulut yang selalu bungkam.

"Selamat pagi, Sya." Zaid berkata parau.

"Kamu masih capek, ya? Kamu masih belum bangun," ucap Zaid serak. Tangan Keisya semakin kecil ketika dia genggam.

"Aku tahu kamu capek, Sya. Tapi, tidur kamu udah lama banget rasanya. Kamu nggak mau ngomong sama aku? Gak mau main sama Lian? Atau enggak kita pergi liburan? Gimana? Biar capek kamu hilang juga. Sya, bangun."

Mata itu masih setia terpejam. Mulutnya masih diam, enggan berucap. Tubuhnya masih terbaring lemas tanpa mampu bergerak walau satu inchi. Namun, wajah itu tetap tampak bercahaya walau  terlihat pucat. Wajah Keisya begitu damai seolah ingin istirahat untuk selamanya.

"Abi?"

Zaid menghapus air matanya, menoleh pada anak kecil yang baru saja memanggilnya. Laki-laki itu melepaskan tangan Keisya dan mengangkat Berlian untuk dia dudukkan di pangkuannya. Baru kali ini Berlian mau datang ke rumah sakit karena selama ini Berlian menjaga jarak dari Keisya seolah masih mengira bahwa keadaan sang Umi adalah karenanya.

"Abi, Umi kapan bangun?" tanya Lian menatap penuh harap tepat di mata Zaid.

"Bentar lagi  Umi bangun."

Berlian kali ini menoleh ke arah Keisya. Anak kecil itu menangis terisak. Dia rindu Uminya. Dia rindu usapan lembut Keisya di kepalanya, rindu tatapan hangat Keisya, rindu suara halus itu berbicara padanya, dan rindu pelukan hangat sang umi melingkupi tubuh mungilnya. Namun, kini tubuh itu terlihat lemah dan tak sanggup. Berlian menangis keras, mengguncang tubuh Keisya dengan tangan kecilnya. Zaid mencoba menenangkan, tapi itu justru membuat tangisan sang putri semakin keras.

"Sayang—"

"Umi! Lian mau main sama Umi! Bukannya Umi janji bakalan main terus sama Lian? Umi ingkar janji! Nanti Allah marah sama Umi kalau Umi ingkar janji. Ayo bangun, Umi! Main sama Lian. Lian lindu Umi. Umi!"

Zaid memeluk sang putri, mengelus lembut pipi basah itu hati-hati. Mata, hidung, dan pipi Berlian memerah membuat Zaid semakin merasa perih. Dia selalu gagal dalam menjaga. Baik itu menjaga Keisya ataupun Berlian, putrinya.

KEISYA (Tolong, Cintai Aku Juga) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang