Satu tahun telah berlalu. Bulan Desember kali ini terasa berbeda bagi Nala. Sampai akhirnya, Nala memilih pulang ke kampung halaman untuk mengisi hari liburnya. Setelah berpamitan dengan tetangga di sekitar kontrakan, hari ini ia telah berada dalam mobil.
"Gimana sekolahnya? Lancar? Dapat ranking berapa?" Pengemudi mobil yang berada di sebelah Nala membuka pembicaraan.
"Alhamdulillah, dapat ranking 3." Nala menjawab seadanya. Menampilkan senyum meskipun ada rasa pusing melanda.
"Bersyukur saja, yang penting masih dapat ranking. Walaupun gak dapet ranking satu lagi kayak dulu," ujar sopir itu masih dengan kesibukannya menyetir mobil.
Nala hanya tersenyum kecil. Ia menatap ke depan. Sepertinya, hatinya masih retak. Belum ada satu orang pun yang menyembuhkan lukanya.
Tak lama kemudian, mobil yang ia tumpangi sudah berada di desa yang penuh dengan kehijauan. Udara segar yang begitu dirindukan kini kembali dirasakan. Tak ada lagi kendaraan-kendaraan yang begitu banyak dan menimbulkan kemacetan.
Mobil yang ditumpangi berhenti persis di depan rumah Nala. Sehingga anak kecil yang tadinya bermain mobil-mobilan ikut berhenti saat melihat Nala keluar dari mobil.
"Horee ... Kak Nala pulang." Seruan seorang anak kecil yang kakinya kotor karena menginjak tanah tanpa alas kaki, terdengar nyaring.
Senyuman lagi-lagi terukir di bibir Nala. Tapi, senyuman itu memudar ketika motor lewat dan menyenggol tubuh mungilnya sampai terjatuh.
"Aw ...!" Nala meringis kesakitan ketika lutut dan tangannya menyentuh bebatuan tajam. Sementara tas berisi baju yang dipegangnya tadi terpental.
"Gimana, sih? Bawa motornya hati-hati, dong. Dipikir bukan manusia apa, disenggol-senggol," omel Nala dengan suara yang sedikit dikeraskan sembari membersihkan tangannya yang sedikit lecet.
"Kamu tidak apa-apa, 'kan?" Pemuda yang mengendarai motor tadi sedang berjongkok di samping Nala tanpa melepas helm di kepalanya.
Sejenak pandangan mereka bertemu saat Nala menoleh. Namun, Nala yang sadar terlebih dahulu langsung mengalihkan pandangan dengan jengah, kemudian bangkit dari posisinya.
"Kamu belum jawab pertanyaanku," ujar pemuda yang ikut berdiri.
"Tidak." Nala menjawab dingin. Sampai-sampai pemuda itu kagum dengan sikap cuek yang menambah manis wajah itu.
"Lain kali, bawa motor itu hati-hati. Kalau aku mati, kan gak lucu." Nala protes tak peduli dan tak mau menatap pemuda itu.
"Gak apa-apa. Asalkan matinya di pelukanku." Pemuda itu menyodorkan tas yang tadinya terpental. Tapi, matanya terus menatap Nala dari samping, sepertinya dia terpesona pada gadis itu.
Pemuda itu tersentak kaget saat Nala merampas tas dengan kasar dari tangannya. Nala yang seolah bodo amat melangkah meninggalkan pemuda itu.
"Ciee ciee ...," ledek anak kecil tadi saat Nala sudah berada di depan pintu.
"Ih, apaan, sih? Masuk sana, kalau gak mau Kakak hukum."
Anak kecil yang merupakan adik Nala berlari masuk sembari tertawa terbahak-bahak.
Dasar adik rese. Itulah umpatan Nala selama ini bila dikerjai adiknya. Ia mengedarkan pandangan. Syukurlah, pemuda tadi sudah tidak ada di tempat. Setidaknya Nala tidak merasa malu akibat ulah adiknya.
"Mana Ibu?" tanya Nala yang baru saja duduk di alas tikar. Tapi, orang yang ditanyai malah sibuk mengintip isi kantong kresek milik Nala.
"Etdah, nih bocah. Ditanyain bukannya jawab malah ngintipin barang orang," omel Nala, kemudian menjauhkan kresek yang agak besar itu dari jangkauan adiknya.
"Mana satenya?" tagih adik laki-lakinya, Tio yang masih berusia 7 tahun.
"Pasti satenya ada di dalem sana, 'kan?" lanjut Tio menunjuk kresek yang sempat dijauhkan tadi.
"Mana Ibu?!" Kembali Nala menanyakan hal yang sama. Tio dengan santainya menjawab bahwa Ibu belum pulang dari kebun.
"Dari tadi, dong, jawabnya. Keburu basi pertanyaannya baru dijawab." Inilah Nala dengan adiknya. Bukannya berterima kasih, justru mengoceh tidak jelas.
"Mending lanjut main mobil aja, ah. Daripada ikutan gila gara-gara Kak Nala." Tio pergi sambil berjalan menyindir Nala.
"Minta digetok, ya?" seru Nala pada adiknya yang sudah berlari keluar.
"Satenya nunggu Ibu pulang," lanjutnya yang kali ini sedikit berteriak.
"Oke, Kakak!" Tio kembali masuk, lalu keluar setelah menjawab seruan Nala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Yang Terluka [END]
General Fiction[Biasakan follow sebelum membaca] Luka? Cukup di masa lalu kau datang! Berhenti mengusik, biarkan masa itu berlalu tanpa membebani masa depan yang menjadi harapan. Kecerobohan Nala membuatnya terjerumus dalam luka yang sampai sekarang tak mengizinka...