Part 2 : Warga PSHT

111 48 32
                                    

Pagi itu, Nala memilih memakai baju persatuan seangkatannya dengan celana latihan hitam polos. Berhubung hari ini ibunya ke pasar dan Nala akan ikut dengan setelan baju itu.

"Bu, Nala ikut ke pasar, ya?" Nala meminta izin pada ibunya, Nita yang baru saja keluar dari kamar.

"Punya kaki, kan? Tinggal gerakin saja apa susahnya, sih?"

Nala tertunduk mendengar jawaban sinis sang ibu. Kali ini ia berusaha untuk tak menangis karena sejak kecil ibunya memang selalu bersikap seperti itu.

Tak lama kemudian, Pesa Giara, gadis yang juga merupakan adik Nala datang. Bergelayut manja di lengan Nita yang sibuk mengecek isi dompetnya. Pertanyaan yang sama dengan pertanyaan Nala beberapa menit lalu kembali dilontarkan oleh Pesa. Namun, dengan jawaban yang berbeda. Yang kali ini kalimatnya sungguh manis dari sebelumnya.

"Pasti boleh, dong, ikut ibu ke pasar. Sekalian beli baju, kan baju Pesa udah jelek-jelek. Kuno lagi."

Pesa begitu senang dengan ucapan Nita. Tapi, tidak dengan Nala yang justru harus menahan air mata yang berusaha keluar dari matanya. Apakah ibunya memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa anak gadisnya ada dua?

Akhirnya, Nala hanya berjalan mengekori ibu dan adiknya yang sudah jalan lebih dahulu. Tepat di depan pintu langkahnya terhenti ketika lengannya dipegang oleh seseorang.

"Ayah," lirihnya menatap lelaku paruh baya itu. "Ada apa, ayah? Ayah butuh sesuatu?"

Lelaki itu tersenyum, lalu menyodorkan tiga lembar uang lima puluh ribuan pada Nala.

"Ambillah, siapa tahu kau membutuhkannya."

Nala menggeleng pelan tanda menolak, karena takut jika ibunya marah.

"Ayah akan sangat kecewa kalau Nala menolak."

Selalu kalimat itu yang dilontarkan ayahnya sehingga Nala tak dapat menolak. Ibunya juga tidak pernah memberi uang sebanyak itu. Dengan haru, Nala memeluk tubuh ayahnya, Gibran.

"Sudah, sudah. Cepat susul ibumu, biar bisa beli baju sama Pesa," pesan Gibran pada Nala yang sudah melerai pelukan.

"Duitnya Nala tabung saja. Sayang kalau cuma dibeli baju. Daa, ayah. Makasih, ya."

Gadis itu langsung berlari menyusul ibu dan adiknya dengan wajah ceria. Meski ibunya terlihat begitu tak peduli, tapi masih ada ayah yang selalu membuat kesedihannya menjadi setitik tawa.

Sekarang Nala sudah berada di pasar, menemani Pesa yang sedang memilih-milih baju. Pasar yang hanya ada di setiap hari rabu, menjajakan aneka barang, serta kebutuhan sehari-hari.

Merasa diikuti, gadis ini menoleh pada pemuda yang berdiri di antara penjual mainan anak-anak sembari memperhatikannya. Yang lebih mengherankan ketika Nala menoleh, pemuda itu langsung memalingkan wajah.

Suara Pesa memanggil di tengah keramaian menghentikan aksi Nala yang akan menjenguk pemuda yang diam-diam mengawasinya.

"Kak, kak. Gimana? Bajunya bagus, kan?" Pesa menyodorkan baju baju merah muda tanpa lengan.

Nala hanya melihat sekilas. "Bajunya tidak bagus. Ini terlalu terbuka, tidak pantas dipakai," protes Nala tak suka dengan baju yang ditunjukkan adiknya. Tak menyadari jika Pesa tengah memasang mimik semberut sembari meremas baju itu.

"Terus? Kalau aku suka baju ini, apa masalahnya sama kakak?" Bukannya kembali memilih baju, justru Pesa memarahi Nala tanpa peduli dengan keramaian.

"Kakak mau aku pakai baju tertutup kayak kakak? Hello! Dunia ini panas, kak!"

Nita yang tadinya juga sedang mencari pakaian, datang melerai pertengkaran dua gadis bersaudara ini. Masih dengan pedulinya yang sepihak.

"Kak Nala iri sama Pesa, bu. Kakak gak terima kalau ibu beliin baju buat Pesa."

Dengan raut wajah yang dibuat-buat, Pesa memutar balikan fakta. Dan hanya begitu yang bisa membuat Nita percaya. Sementara Nala hanya menggeleng kepala dengan mata berkaca-kaca.

"Sekarang kamu pulang! Buat ibu malu saja. Lainkali tidak usah ikut ibu ke pasar."

Nala menunduk, tak berani menjawab ibunya. Menganggukan kepala dan berbalik pulang. Air mata yang tak bisa lagi ia tahan membuatnya terpaksa untuk pulang melewati jalanan sepi. Supaya tidak ada yang melihatnya menangis.

Nala berjalan gontai menyusuri jalanan yang sepi, menatap ke depan dengan tatapan kosong. Sekali-sekali buliran bening mengalir di pipinya. Dan jari-jari mungilnya turut serta menghapus.

"Kamu nangis?"

Suara itu berhasil membuat Nala menoleh. Langkahnya terhenti saat melihat pemuda mengiringi menggunakan motor.

"Kamu laki-laki kemaren, kan?" Nala mengangkat jari telunjuk pemuda yang mengangguk membenarkan ucapannya.

"Kenapa kau mengikutiku? Pergi! Aku sedang ingin sendiri."

Nala kembali melanjutkan jalan dengan langkah yang dipercepat. Berharap agar pemuda tadi pergi setelah ia meninggalkannya. Bukannya merasa bebas ketika sendirian, Nala bertemu dengan dua pemuda berpakaian ala preman.

"Arjun? Tomi?"

Tentu saja Nala mengenali, karena mereka adalah seniornya sewaktu SMP. Dan mungkin tak melanjutkan sekolah ke jenjang SMA.

Arjun dengan anting di telinga kananya dna kalung yang bertengger di lehernya mendekati Nala. Sementara Tomi duduk santai di atas motor sambil mengunyah permen karet.

"Nala ikut abang, yuk. Daripada sendirian di sini," ajak Arjun pada gadis yang terlihat tak sudi hanya untuk menatap sekejap.

Merasa dagunya disentuh oleh tangan kasar Arjun, Nala dengan cepat memelintir tangan itu sehingga pemiliknya meringis kesakitan.

"Jangan pernah menyentuhku! Camkan itu!" Nala mendorong Arjun setelah memperingatkan untuk tidak macam-macam padanya.

Tomi yang menyaksikan di atas motor, beranjak mendekat hendak memberi pukulan. Tapi sebelum Nala menangkis, Tomi lebih dulu terpental akibat tendangan pemuda yang sedari tadi mengikuti Nala.

"Tetap di sana," ujar pemuda itu hendak melawan Arjun. Sementara Nala tertegun kala melihat melihat lambang PSHT di bidang dada kiri pemuda itu.

Terjadilah perkelahian dua lawan satu. Pemuda itu berkali-kali berhasil membuat Arjun dan Tomi kewalahan. Nala hanya bisa menyaksikan perkelahian dengan hati yang cemas.

Alhasil, Arjun menonjok pipi pemuda itu sehingga mengeluarkan darah segar. Tapi itu tak membuatnya kesakitan, bahkan ia terus melawan sampai mereka berhasil dibuat kalah dan meninggalkan tempat.

"Mas tidak apa-apa, kan?" Nala menghampiri pemuda yang juga merupakan warga PSHT dan baru ia sadari.

"Aku, Stefen Alfa. Dari Bandung." Pemuda itu mengulurkan tangan sembari menunjukkan senyumnya.

Nala menyambut uluran tangan itu. "Nala Ciara," jawabnya tanpa membalas senyuman. Rasanya canggung. Kalau Alfa bukan bagian dari PSHT, Nala tidak akan mau berkenalan dengan orang asing.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" Alfa mencemaskan Nala. Tanpa memikirkan bagaimana keadaannya sekarang.

"Mas ini aneh sekalu. Mas yang luka, aku yang malah dicemaskan," protes Nala yang merasa jika Alfa salah dalam mencemaskan sesuatu.

"Ayo, ke rumah temanku. Agar aku bisa mengobati lukamu." Nala mengajak tanpa sadar telah menggenggam lengan Alfa.

"Kenapa harus ke rumah temanmu?"

"Ibuku belum pulang. Kalau aku membawamu ke rumah, yang ada aku akan dimarahi." Nala berkata seolah dia patut dibenarkan.

Mimpi Yang Terluka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang