Part 28 : Eva

37 13 4
                                    

Kehidupan yang terus berjalan sesuai hukum alam. Matahari dan bulan bergantian menemani dan menyaksikan setiap gerak manusia. Anak muda yang malang berkeinginan tinggi untuk sekolah, baju lusuhnya sudah muak dipakai. Seperti orang lain, Eva pun sama ingin merasakan baju sekolah merah putih yang nampak keren dipandang. Namun apa daya jika tempat bergantung melarang, menolak untuk menyekolahkannya yang memang belum bisa mencari uang.

Setiap kali Eva meminta pada Pesa, ketika itulah satu saja sebuah bekas pukulan melekat di bagian tubuhnya. "Ibu, aku ingin sekolah."

Setiap hari gadis kecil ini berangan-angan berangkat bersama dengan teman. Mimpinya yang sudah begitu tinggi dan tidak dikabulkan menyebabkannya jatuh sakit dengan suhu badan yang tinggi.

"Enak banget ya, tiduran. Ibunya capek kerja, anaknya malah enak-enakan tidur siang." Pesa berkacak pinggang, menyorot tajam pada Eva yang terbaring menutupi tubuh dengan selimut.

"Eva lagi gak enak badan, Bu."

"Halah, alasan!" Pesa mendekat, menarik selimut yang menutupi tubuh anaknya. "Sekarang bangun terus cuci piring."

Eva yang masih polos, tak berani melawan. Dengan kepala pusing ia berdiri untuk melangkahkan kaki ke dapur. Belum keluar dari kamar kepalanya terasa berdenyut kuat, pandangan mulai kabur. Terakhir kali mulutnya menyerukan kata 'ibu' dengan maksud meminta tolong akan yang dirasakan saat ini.

Pesa terbelalak ketkka Eva ambruk tak sadarkan diri. Tergesa-gesa ia mendekat. "Eva, bangun Eva. Jangan bercanda."

Pesa memegang kening Eva. Panas, punggung telapak tangannya yang merasakan. Dia berpikir, dari mana mendapat uang untuk mengobati anak ini? Kalau tidak diobati juga bisa bahaya.

"Jadi anak nyusahin banget," sewot Pesa sendiri. Dari manapun ia mendapat biayanya, yang terpenting Eva harus dibawa ke rumah sakit.

Setelah jauhnya melangkah, letihnya berjalan kaki menuju rumah sakit, Pesa duduk di ruang tunggu mengipasi diri dengan tangan. "Panas," serunya tanpa ada kekhawatiran dari rautnya.

Bukanlah kesehatan Eva melainkan di mana ia dapatkan uang untuk pengobatan ini. Otaknya juga terlintas di mana dosa yang ia buat dengan Fandi berakibat sengsara yang ia rasa. Pesa sudah meminta pertanggung jawaban, tapi Fandi dikabarkan sudah meninggal.

<Flashback on>

Ketika Pesa keluar dari hotel, Fandi kembali membawa makanan untuk mengganjal perut sekaligus membawakannya untuk Pesa. Tapi Fandi sendiri terperangah melihat tak ada siapapun di kamar, pakaian Pesa pun sudah tak ada di tempat semula.

"Sialan," umpat Fandi berniat mencari Pesa.

Di tengah pencarian keberadaan Pesa, kecelakaanpun tak terelakkan, Fandi tertabrak truk ketika mobilnya hendak memutar balik arah.

<Flashback off>

"Fandi bilang dia mau tanggung jawab dengan yang dia lakukan. Fandi mau nafkahin kamu, tapi maaf, itu keinginannya sebelum menghembuskan nafas terakhir."

Air mata Pesa lolos dari pertahanan. Suara yang baru saja terngiang kembali menggerogoti hatinya yang teriris. Seandainya dulu dia tidak kabur, mungkin sekarang dia masih kuliah atau kerja. Tapi semuanya hanya tinggal penyesalan.

"Maaf, apa ibu orang tua pasien bernama Eva?"

Suara seorang dokter membuyarkan lamunannya. Sambil mengelap basah di pipi Pesa berkata, "Aku ibunya, Dok."

Ketika Pesa menoleh, ia terkejut melihat dokter itu. Netranya terbuka sempurna melihat wanita di depannya.

"Ka ... Kakak."

***

Jarum jam bergerak, detik demi detik, menit demi menit, ditempuh tanpa henti. Waktu terus berjalan tanpa menunggu. Ruang beraroma khas obat ini tak disangka salah satu ruangannya bisa ditempati. Alfa sibuk mengecek satu persatu berkas yang ada di mejanya. Mengejar waktu mepet yang ia miliki untuk saat ini. Hari ini adalah jadwalnya mendatangi kontrakan Nala dulu.

Gibran adalah salah satu pasiennya yang mengidap penyakit paru-paru dan harus menjalani pemeriksaan di hari terjadwal. Biasanya Alfa yang menjemput lalu mengantar pulang. Baginya, hanya ini yang bisa dilakukan di atas gagalnya menemukan Nala.

"Huffftt ... selesai." Alfa terduduk lega. Karena hanya tersisa Gibran pasiennya hari ini, jadi ia bebas untuk menjemput.

Jas putih yang ia kenakan dilepas, digantung pada tempat yang sudah disediakan. Pemuda ini terlihat lebih tampan dengan kemeja hitam yang dikenakan.

"Sus, segera hubungi saya kalau ada pasien baru, ya. Saya harus menjemput seseorang dulu." Sebelum pergi, Alfa kerap kali menitip pesan kepada salah satu suster untuk menghubunginya jika ada pasien lain.

Suster yang bisa dibilang masih gadis tersenyum sambil mengangguk. Netranya nampak kagum dengan Alfa.

"Baik, dok," ujar suster itu.

Alfa bisa merasakan jika langkahnya terus ditatap hingga hilang. Dibiarkan saja, mencari perkara tentang ini tidaklah benar.

"Ikut aku ke ruanganku."

Suara ini lagi-lagi menarik perhatian Alfa. Suara seorang dokter yang serasa familiar dan membuatnya penasaran siapa pemiliknya.

Perhatiannya pada dokter yang dimaksud teralihkan ketika melihat Pesa yang terdiam di tempat.

"Pesa," panggil Alfa refleks membuat wanita itu berbalik.

"Kak Alfa," lirih Pesa kembali terkejut. Ia berkutat pada pikirannya, apakah dokter yang menangani Eva sudah bertemi dengan Alfa.

"Siapa yang sakit? Atau ... kamu nganter Paman Gibran ke sini? Tapi kenapa sama dokter itu?" Alfa memberi pertanyaan bertubi-tubi.

"A-aku ada urusan lain," jawab Pesa gugup.

"Kamu kenal dokter itu?" tanya Arfi lagi merasa curiga.

"Memangnya kakak belum ketemu dokter itu?" Bukannya menjawab, Pesa balik bertanya di balik kegugupannya kali ini.

"Belum."

"Aku harus ke ruangan dokter tadi. Maaf aku tinggal." Buru-buru Pesa pergi sambil tangan yang terkadang menyapu keringat di wajahnya.

Niat Alfa mengikuti batal ketika ia mengingat jadwal yang seharusnya ia lakukan. Kondisi Gibran lebih penting dari dokter itu. Toh, mereka satu tempat, bisa saja suatu hari bertemu.

Bersambung ...

Maaf ya baru update. Jangan lupa votement.

Sampai jumpa di part selanjutnya ....

Mimpi Yang Terluka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang