Part 19 : Kepergian Nala

47 22 0
                                    

Semua melirik, semua yang ada di taman menatap ke meja Alfa dan Nala. Tentunya karena kedatangan Pesa secara tiba-tiba. Kedatangan yang begitu tak disangka.

Tanpa aba-aba atau mengeluarkan kata, Nala diseret begitu saja menjauh dari meja.

"Pesa," lirih Nala tak mengerti apa yang disorotkan dari ekspresi adiknya.

"Kakak sudah tau kalau aku suka sama Alfa, tapi kenapa kakak masih dekat dengannya? Seharusnya kakak jauhin dia, seharusnya kakak berkorban,"  protes Pesa langsung, tanpa basa-basi.

"Maaf, kakak gak bisa lakuin itu Pesa," jawab Nala, gemetar.

"Heh, ternyata kakak itu egois ya." Pesa mendesis tak suka.

"Alfa tidak punya perasaan denganmu, Pesa. Kalau dipaksakan, yang ada kau menderita," jelas Nala berusaha meyakinkan. Tapi nampaknya adiknya ini sama sekali tidak peduli.

Pesa berdecak kesal dengan jawaban kakaknya. Beginilah dia, jika keinginannya tidak dipenuhi maka ia sangat tidak suka. Dan akan melakukan apapun untuk mendapatkannya.

"Begitu? Lihat saja apa yang akan aku lakukan," ancam Pesa tak menyadari mendekatnya Alfa.

"Sudah ngerumpinya?" tanya Alfa menaruh kedua tangan ke dalam saku celananya.

Pesa memberi senyumnya, tapi Alfa malah memutar bola matanya dengan malas. Sementara Nala menatap ke arah lain.

"Aku duluan, ya. Aku--"

"Kami pulang agak terlambat." Alfa memotong ucapan Pesa.

Pesa mengangguk, wajahnya memerah. Ingin marah, tapi dipendam.

Alfa menggenggam lengan Nala. "Kita jalan-jalan," putusnya sanggup menolehkan wajah Nala. Tentu anggukkan adalah jawaban dari Nala selagi bibirnya sedang tak mau berucap.

Selama ini Nala sudah memberikan apa yang selalu diinginkan Pesa. Tapi masalah Alfa, rasanya ia harus pertahankan. Karena orang seperti Pesa jika dibiarkan, pasti akan semena-mena dalam mengambil hak orang lain.

Pertahankan selagi itu milikmu!

***

Malam ini, malam yang gelap tapi masih ada setitik cahaya di bumi. Entah itu dari lampu listrik, lampu kendaraan, dan lain-lain.

Ramai, ricuh, itu lah kesannya. Apalagi ketika terjebak di dalam kemacetan, ada saja kendaraan yang membunyikan klakson, tak sabaran.

Sesudah isya' Alfa dan Nala baru pulang. Tentunya setelah shalat di masjid.

Seorang wanita paruh baya duduk di teras kontrakan Nala. Siapa lagi kalau bukan Nita, ibu Nala. Nampaknya dia sudah lama menunggu.

Dengan antusias Alfa langsung mencium tangan Nita. Walaupun ekspresi itu tetap datar.

"Masuk!"

Mendengar perintah dari Nita, Nala masuk terburu-buru. Takut jika ibunya marah, karena baru kali ini dia pulang malam.

"Nak Al mau masuk dulu?" tanya Nita dengan ramah. "Nanti Pesa buatin teh."

"Eh, enggak bu. Saya langsung pulang," tolak Alfa kembali menaiki motornya.

Setelah dipastikan Alfa tak terlihat, Nita masuk dengan Pesa. Menyorotkan wajah marahnya yang mungkin akan melancarkan sebanyak-banyaknya omelan.

Sementara Pesa hanya tersenyum miring, menikmati apa yang disaksikan. Seakan itu adalah tontonan yang menyenangkan.

"Mulai besok kamu gak boleh sekolah!" ucap Nita membulatkan mata Nala.

"Ke-kenapa, Bu? Nala salah apa?" Seharusnya Nala tidak menanyakan hal ini. Karena apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibunya. Tapi entah kenapa mulutnya itu tak bisa dicegah.

"Biar kamu gak deket-deket sama Alfa," ujar Nita kembali. Hal spele saja dipermasalahkan.

"Kamu tau kan kalau Pesa suka sama Alfa. Jadi kamu sebagai kakak harus mengalah," tambah Nita lagi semakin membuat dada Nala memanas. Baru kali ini ia begitu tak terima dengan keputusan sang ibu. Tak tahan lagi maybe.

"Ibu selalu mikirin kebahagiaan Pesa, ibu selalu ngerti perasaan Pesa. Apa ibu pernah mikirin aku? Untuk mikirin aja gak akan pernah, gimana bisa ngerti?" kesal Nala sudah tak bisa menahan.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi Nala. Panas sampai memerah, itulah yang dia rasakan.

"Apapun yang terjadi, aku akan tetap sekolah besok! Sebentar lagi ujian dan aku gak mau nilai aku anjlok cuma karena larangan sekolah dari ibu," ujar Nala masuk ke dalam kamar.

Air mata yang keluar itu diabaikan dengan tangan yang sibuk memasukkan baju dari lemari ke dalam tasnya. Tak lupa juga buku-buku pelajarannya.

Hal inilah yang membuat Nala sangat tidak suka satu tempat dengan Pesa. Karena jika itu terjadi, ibunya yang pilih kasih ini  akan terus berkicau mencari-cari kesalahan.

"Kamu mau ke mana, hah?" tanya Nita.

"Aku mau jadi guru dan aku gak mau cuma karena ibu selalu bela Pesa aku gak bisa wujud-in itu." Nala beranjak menuju pintu utama.

"Ibu suruh kamu jadi dokter, bukan guru!" teriak Nita seolah takut jika Nala benar-benar pergi.

Nala tak mau lagi mendengar. Menjadi guru bukan hanya impiannya, tapi juga impian ayahnya. Dia bisa saja jadi dokter, tapi phobianya akan darah sangat menghalangi.

Nala keluar dari kontrakan meskipun tidak tahu harus kemana. Dia tidak peduli lagi dengan teriakkan ibunya, begitu juga dengan bisik-bisik tetangga.

Langkahnya terhenti ketika tangannya dicekal oleh Alfa. Tentunya tepat di depan rumah Alfa.

"Kamu mau ke mana?" tanya Alfa. "Pulang!"

"Gak mau, Al." Nala kembali menolak.

"Kamu gak kasihan sama ibu kamu?" tanya Alfa lagi berusaha meyakinkan.

"Terserah!"

Alfa diam, tak lagi bicara walaupun tangannya masih menggenggam erat. Dia begitu tahu apa masalah Nala, bagaimana perasaan Nala, dan sekarang ia nampak berpikir.

"Emangnya kalau kamu pergi, kamu mau pergi kemana? Dengan kepergian kamu, apa semuanya bisa berubah?" Tangan Alfa meraih koper yang ada digenggaman gadis ini.

"Gak ada yang berubah walau aku pergi, tapi setidaknya kepergian aku bisa nenangin, Al," jawab Nala dengan suara gemetar.

Alfa begitu mengenal suara Nala yang hendak menangis. Oleh karena itu, tangannya terulur mengusap lembut rambut panjang Nala.

"Rumah ini punya dua kamar. Kamu bisa pakai kamar kosongnya. Mau?" tawar Alfa tanpa ragu. Rumah dari kakeknya ada CCTV, jadi mereka akan tetap dalam pengawasan.

Terlihat dari wajah Nala ragu, Alfa pun tahu. Selanjutnya ia kembali menjelaskan.

"Tenang, ada CCTV, kok. Aku juga gak bakal apa-apain kamu. Ini sudah malam, gak baik kalau perempuan keliaran sendirian."

Nala akhirnya mengangguk. Lantas mengekori Alfa yang langsung saja masuk. Awalnya ragu, tapi Nala tahu jika seorang Alfa tidak akan mungkin melakukan sesuatu padanya.

Melihat Nala mendapat bantuan, Pesa masuk mengambil piring dan memecahkannya mengikuti irama emosi.

"Aku benci Kak Nala!" geramnya mengepalkan kedua tangan.

Bersambung ....

Hai hai!

Terus baca cerita Mimpi yang Terluka. Jangan lupa share agar banyak yang mengikuti cerita ini.

Jangan lupa votenya. Sampai jumpa di part selanjutnya:D

Mimpi Yang Terluka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang