Mencuci piring, mencuci baju, memasak, menyapu, dan lain-lain sudah Nala selesaikan. Baru saja ia terduduk di atas alas tikar, lagi-lagi ada yang memanggilnya. Kali ini bukan ibunya, tapi orang lain yang memang sering nongkrong mencari sinyal di sekitar rumahnya.
Awalnya Nala memilih untuk mengabaikan, tapi dengan terpaksa ia keluar ketika yang memanggilnya mengatakan ada yang mencari.
Nala menyembulkan kepala dari balik pintu membiarkan orang yang sibuk menongkrong melihat penampilannya yang acak-acakan. Kenapa harus malu? Kalau ditanya jawab saja membereskan rumah. Toh, membereskan rumah itu sudah menjadi kegiatan rutin seorang wanita.
Tahu jika yang mencarinya itu Alfa, Nala kembali masuk menemui Nita yang sedang makan di dapur.
"Bu." Nala tiba-tiba datang mengagetkan Nita dan Pesa yang sedang asyik makan sambil mengobrol.
"Ada dulurku dari organisasi PSHT, ke sini. Katanya sih mau main," lanjut Nala meskipun yang diajak bicara bersikap acuh.
"Ajak masuk aja apa susahnya, sih? Ribet amat begitu saja pakai izin," jawab Nita sibuk dengan nasinya. Bahkan Nala sudah makan atau belum tidak dipikirkan, apalagi hanya untuk menoleh sekilas.
"Tapi, dia cowok, Bu." Nala memainkan jari lentiknya takut jika ibunya menolak. Lalu, apa yang harus ia katakan pada Alfa?
Yang benar saja, Nita mengizinkan pemuda itu untuk masuk. Nala yang mengernyitkan dahinya heran hanya mengiyakan perintah ibunya.
Tanpa merapikan rambut, Nala keluar menghampiri pemuda yang mencarinya. Baginya itu tidak apa. Yang penting pakaian sopan.
Sebaliknya, Alfa masih dengan rasa kagumnya. Meski rambut itu terlihat kusut, tapi wajah itu cantik tanpa make up. Pakaian yang begitu sederhana membuat Nala menjadi gadis pertama yang benar-benar dikagumi Alfa.
"Kusut, tapi tetap cantik. Habis beresin rumah, ya?" terka Alfa yang sangat benar dan tepat.
"Iya, mas." Nala mengiyakan dengan menatap ke bawah.
"Ayolah, Nal. Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku serasa tua, padahal seusia denganmu," protes Alfa yang berjalan lebih dekat dengan Nala.
"Di luar latihan kau harus memanggilku Alfa atau Al!"
Kali ini Nala mengiyakan syarat dengan menganggukan kepala. Apapun yang terjadi, tidak boleh lagi ada salah paham antara siapapun.
"Eumm ... kau kemari jalan kaki?" Nala mengedarkan pandangan ke sekelilimg ketika tak melihat motor Alfa terparkir.
"Kau tidak letih?" Nala bertanya untuk kesekian kalinya setelah mendapat anggukan.
"Jangankan jalan ke rumahmu, mengejarmu yang dingin saja aku tidak akan letih."
Setelah satu tahun perpisahannya dengan Esran, hari ini Nala merasakan debaran aneh itu kembali. Tapi, sebisa mungkin ia bersikap biasa saja. Menutupi agar perasaan itu segera terabaikan.
Alfa sebisa mungkin menahan tawa melihat wajah yang memerah itu. Momen itu kembali dirusak ketika seorang gadis berdehem, menatap Alfa dengan tatapan jahil.
Nala yang merasa tidak suka, langsung menegur. "Apa-apaan kau ini? Sudah punya pacar, tapi masih saja genit pada lelaki lain. Ayo, Alfa. Lebih baik kita mengobrol di dalam rumah."
Tanpa sengaja Nala menarik lengan Alfa menuju rumahnya. Sementara gadis tadi mencibir tak suka meski orang yang dituju sudah tak berada di hadapannya.
"Eumm, maaf," ujar Nala melepas tangan Alfa ketika sampai di depan pintu. "Lain kali aku tidak akan melakukannya lagi."
"Tidak apa-apa. Sering-sering seperti ini juga tidak masalah." Alfa kembali mengeluarkan kata-katanya. Nala menoleh. Bukannya terbawa perasaan, justru kembali memperingatkan untuk masuk.
Sekarang mereka berdua sudah duduk di alas tikar menghadap televisi. Nala menatap layar televisi dengan serius dan karena itu tidak ada yang memulai pembicaraan. Sehingga Alfa yang merasa bosan akhirnya membuka pembicaraan.
"Tidak bosan, ya, nonton sinetron terus?" tanyanya sembari mengambil beberapa keripik dari dalam toples, lalu menikmatinya.
Nala tak mengeluarkan suara, tapi menjawab dengan mengganti chanel TV menggunakan remot.
"Lah, Nal? Kok Upin Ipin, sih?" protes Alfa saat acara dalam televisi menampilkan kartun anak berkepala botak yang selalu berkata 'betul betul betul'.
"Dih! Tadi sinetron, mas protes. Giliran kartun, protes juga." Nala balik protes, tak mau mengalah dalam mood yang sedang ambyar ini. "Mas mau nonton apaan, sih?"
Beberapa detik, tak ada jawaban. Nala risih akan hal itu. "Ih, mas! Mau nonton apa?!"
"Aku tidak akan menjawab jika dipanggil mas. Kecuali, di tempat latihan." Lagi-lagi Alfa menekankan hal yang tadi diperingatkan. Sebab, yang diperingatkan itu justru dilanggar. Jika dia bukan warga PSHT, mungkin sudah Nala lipat-lipat dengan jurusnya.
"Al, kamu mau nonton apa?" Nala kembali menanyakan dengan pelan dan senyum yang dibuat-buat.
"Aku mau nonton sinetron yang pemainnya adalah kita berdua."
Nala memutar bola mata, jengah. Gombalan menyebalkan itu kembali dilontarkan pemuda yang menjadi dulurnya dan baru dikenal. Kadang ia tersentuh, tapi ia harus mengabaikan hal itu.
"Kamu dari Bandung, kan? Tinggal di sini sama siapa?" Nala mengalihkan pembicaraan, daripada terus-terusan digombali.
"Aku tinggal di rumah kakekku. Kebetulan dia kepala desa di sini, heheh." Alfa terkekeh dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Terus? Di sini mau apa, selain ke rumah kakek?"
"Ayah memutuskan untuk memindahkanku sekolah ke Baturaja semenjak ibu meninggal."
Mendengar ungkapan itu, rasa tak enak hati menjalar dalam hati Nala. Kata maaf mungkin sangat kurang untuk apa yang barusan ditanyakan.
"Dan kau tahu? Saat aku sampai di sini, aku bertemu bidadari yang dingin, jutek, tapi dia cantik dan manis. Dan sekarang sudah jatuh ke dalam hatiku."
Nala menatap dingin pemuda di sampingnya, lalu memalingkan wajah tanpa ingin menunjukkan bahwa ia terbawa perasaan. Mengambil segenggam keripik dan kembali fokus menatap layar TV dengan mulut yang sibuk mengunyah.
"Oalah. Jadi kamu, ya, cucu Lukman yang akhir-akhir ini digosipin ibu-ibu." Nita datang membawa segelas teh dan menghidangkannya pada Alfa.
"Eh, bibi. Saya Alfa, Bi," sapa Alfa sembari mencium punggung tangan Nita.
"Yang pindah sekolah ke SMA Negeri 1 itu, kan?" tanya Nita lagi yang dibalas anggukan oleh Alfa. "Satu sekolahan, dong, sama Nala."
Ibu dan pemuda yang menjadi tamu itu begitu asyik mengobrol. Sementara Nala lebih sibuk memakan keripik dengan tatapan fokus pada layar TV. Walau chanelnya masih menampilkan kartun anak botak berbaju kuning dan biru.
"Bibi, boleh tidak, aku meminang anak bibi?"
Bersambung ...
Holla, guys. Pemilik Hati Gadis Biru udah bisa dipesan, loh. Open PO dari tanggal 1 sampai 30 Juli. Harganya 56.000. Ayo, pesan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Yang Terluka [END]
Ficción General[Biasakan follow sebelum membaca] Luka? Cukup di masa lalu kau datang! Berhenti mengusik, biarkan masa itu berlalu tanpa membebani masa depan yang menjadi harapan. Kecerobohan Nala membuatnya terjerumus dalam luka yang sampai sekarang tak mengizinka...