Part 29 : Pertemuan

42 16 11
                                    


"Gimana keadaan Eva?" Seperti biasa, Pesa menunjukkan sikapnya yang dari dulu tidak akan berubah. Ia duduk di tanpa menatap sekilaspun wajah dokter di depannya.

"Eva mengalami gagal ginjal." Dokter dengan name tag Nala Ciara membuka suara. Iya, dokter ini adalah gadis yang dicari beberapa tahun yang lalu. Semua orang mengiranya hilang, tapi hari ini gadis itu sudah datang.

Pesa dibuat bergetar di tempat. Uang untuk makan saja ia harus bekerja siang dan malam, bagaimana ia bisa mendapatkan uang untuk biaya rumash sakit? Transplantasi ginjal sudah dapat dipastikan agar mengeluarkan uang banyak. Kalaupun tidak melakukan itu, mesti cuci darah terus menerus untuk tetap bertahan.

"Jawab kakak dengan jujur. Siapa Eva?" Nala mendesak adiknya yang terpaku di tempat.

"Anakku dengan Fandi," jawab Pesa memalingkan wajah. Menyembunyikan wajahnya yang memerah menahan malu walau sudah tahu Nala akan tetap bisa melihatnya.

"Kamu udah nikah? Sama Fandi?"

Mendengar pertanyaan ini, Pesa menatap sinis. "Aku belum menikah. Eva itu dosa dalam hubungan aku sama Fandi! Kak Nala puas?"

Seorang kakak yang mendapat kabar ini begitu hancur. Tugasnya menjadi seorang kakak sangatlah buruk. Terlebih Nala pernah menghilang.

"Pesa--"

"Apa? Mau ngejek? Silahkan. Tapi asal kakak tau, ini semua gara-gara kakak. Gara-gara kakak hilang, semua orang fokus sama kakak. Mereka gak peduliin aku! Ayah, Ibu, Tio semuanya itu mikirin kakak." Pesa menjatuhkan map yang ada di atas meja.

***

Meskipun dibilang hari sudah sore, mentari kali ini menjatuhkan cahayanya yang menyengat membuat isi bumi gerah. Keringat yang terus bercucuran memaksakan sebagian orang menanggalkan bajunya. Alfa yang baru saja keluar dari rumah sakit dengan niat pulang tak sengaja menabrak seorang perempuan yang tengah teleponan.

Awalnya Alfa hanya mengucap kata maaf dengan dingin, tapi ketika melihay wajah perempuan tadi, netranya tidak bisa dipalingkan lagi. Waktu seakan berhenti berputar saat ini juga.

"Nala?"

Perempuan yang dipanggil Nala merasa tegang. "Mungkin anda salah orang."

Sedikit gemetar Nala berputar masuk ke dalam mobil yang ada di dekatnya. Sementara Alfa yang yakin perempuan itu Nala, memukul kaca mobil meminta agar Nala keluar dan meluangkan waktu beberapa menit saja.

"Aku tidak mungkin salah orang. Nala, buka pintunya. Izinkan aku bicara."

Mobil yang dikendarai Nala bergerak maju meninggalkan lapangan parkir dengan kecepatan di atas normal. Alfa yang tak mau kehilangan lagi ikut mengejar dengan mobilnya.

Terjadilah adegan pengejaran dengan kecepatan yang terus ditambah. Nala yang belum siap bertemu pemuda ini terus menambah kecepatan mobilnya. Diliriknya kaca spion di mana menampakkan mobil Alfa persis di belakangnya.

"Kumohon, jangan kejar aku." Nala mengalihkan pandangannya ke depan.

Alfa menginjak rem ketika lampu hijau berubah menjadi lampu merah secara tiba-tiba dan salah tempatnya.

"Arrghh! Kenapa harus lampu merah sih?!" Dengan kesal Alfa memukul setir mobilnya. Hari ini ia kehilangan jejak, besok akan dipastikan mereka bertemu.

***

Nala menghembus nafas dengan kasar. Merebahkan diri di atas tempat tidurnya yang sejak pagi menganggur. Bayangan pertemuannya dengan Alfa menjadi boomerang bagi pikirannya.

"Aku gak nyangka kalau kamu ada di Baturaja, Al." Sambil menatap langit-langit kamar netranya berkaca-kaca. Seharusnya ia senang bertemu dengan sosok yang ia rindukan, tapi kali ini ia harus menghindar sementara.

Suara ketukkan pintu membuyarkan lamunannya. Nala beranjak membuka pintu mendapati seorang pria yang membawa segelas susu.

"Boleh saya masuk?" tanya Pria itu.

"Boleh." Nala berbalik mempersilakan pria tadi untuk masuk. Membiarkan pintu kamarnya terbuka.

Pria itu Randi, pemuda yang menemukan Nala di pinggir sungai. Pemuda ini melihat kejadian jatuhnya Nala dari jembatan.

"Gimana? Harinya baik-baik aja, kan?" selidik Randi memperhatikan raut wajah Nala. Menaruh gelas di atas meja.

"Alhamdulillah, baik kak," jawab Nala tersenyum. Tanpa bertanya Nala mengambil gelas tadi dan meminumnya seteguk.

"Yakin, gak ada apa-apa?" Lagi-lagi Randi mendesak gadis yang sedang menetralkan perasaannya.

Sebenarnya Nala tidak tenang, sudah tidak betah di sini. Ia ingin cepat-cepat pindah dan kembali berkumpul dengan keluarga. Tapi sekarang ia sedang terikat.

"Jangan bilang kamu mau ketemu orang tuamu dan kekasihku itu?" terka Randi menatap tajam.

"Kenapa? Wajar kan seorang anak merindukan keluarganya? Sudah biasa 'kan, seseorang merindukan kekasihnya yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu? Kapan kakak mau bebasin aku?" Entah ke berapa kalinya Nala mengungkap kemuakkannya. Dan pria ini hanya merespon dengan cara yang sama.

"Aku udah nyelamatin kamu. Aku udah bantu kamu menghilangkan phobia sampai kamu bisa jadi seperti sekarang. Seharusnya kamu balas budi dong, atas semua yang aku kasih. Kamu juga tinggal di sini layaknya seorang nyonya." Randi mengungkit masa lalu.

Hal inilah yang membuat Nala terikat. Nala harus tinggal di tempat ini, jauh dari orang yang dia sayangi sebelum Randi ikhlas melepaskannya. Atau jika Nala ingin semua lunas ia harus menikah dengan Randi.

"Apa yang harus aku lakuin selain nikah dengan kakak?"

"Nanti kamu juga bakal tau, kok. Di waktu yang mendesak." Randi tersenyum miring. Pergi meninggalkan teka-teki yang sampai sekarang tak bisa Nala pecahkan.

Apa yang harus dilakukan selain menikah dengan Randi? Lalu syarat apa yang akan diketahuinya dalam keadaan mendesak?

"Tuhan! Aku sudah rindu Ayah, aku rindu kemarahan Ibu, aku rindu dengan rengekkan Tio, aku juga rindu perlakuan lembut dari Alfa." Nala mengacak rambutnya frustasi.

Bersambung ...

Holla, readers. Terus baca Mimpi Yang Terluka dan jangan lupa buat votement-nya yak.

Sampai jumpa di part selanjutnya ....

Mimpi Yang Terluka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang