Biasakan votement, readers!
Happy reading ...._MYT_
"Siapa yang datang malam-malam seperti ini?" Gibran yang baru saja hendak tertidur terpaksa berdiri sambil mengucek mata untuk membuka pintu yang diketuk oleh seseorang. Mungkin saja ada sesuatu yang penting.
Ceklek!
Pintu utama dibuka, Gibran mendapati Pesa di sana. Yang membuat tersentak ketika Pesa berlutut di depan Gibran.
"Ayah, tolong Eva. Eva sakit, yah. Pesa gak punya siapa-siapa lagi selain Eva, tolong bantu Eva." Sambil mengatup kedua tangan Pesa memohon dengan pilu.
"Memangnya siapa kamu mau minta tolong dengan suami saya?" Nita yang memang belum tidur mendekat. Wajah kecewa sudah tertampak di sana.
"Bu, maafin Pesa. Aku tau aku salah. Tolong, kalau bukan demi Pesa setidaknya demi Eva."
Nita bersikap acuh tak acuh. Tapi Gibran membantu Pesa berdiri dengan raut wajah yang sulit diartikan.
"Eva sakit apa?" tanya Gibran secara tiba-tiba. Tentunya hati Pesa mulai bertanya-tanya.
"Gagal ginjal, yah," jawab Pesa menundukkan kepala. Ia tak berani menanyakan sikap tiba-tiba itu.
"Tolong, untuk kali ini bantu Pesa. Pesa gak mau kehilangan Eva," pinta Pesa lagi.
Gibran membelai rambut putrinya. Baginya, meskipun putrinya sudah berdosa setidaknya bisa meminta maaf dan memiliki rasa sayang dengan anak sendiri.
"Ayah usahakan, tapi ada syaratnya," ucap Gibran tanpa mau memberi hukuman terlebih dahulu.
"Ayah mau, kamu jadi lebih baik lagi. Sayangi anak kamu karena kamu sudah menjadi seorang ibu sekaligus ayah untuk anakmu. Yang pastinya berikan dia pendidikan, izinkan Eva sekolah."
Dengan haru Pesa mendekap erat tubuh renta ayahnya. Sebegitu banyak kesalahan yang sudah dilakukan, namun masih dimaafkan.
Sementara di pihak lain, Nala berada di atas motor sambil memeluk Alfa dari belakang. Sudah lama momen ini menghilang, akhirnya dapat dirasakan kembali.
"Udah lama ya, kita gak jalan berdua begini? Aku kangen," ucap Nala semakin nyaman bersandar di punggung Alfa.
Alfa tersenyum, "Kamu pikir aku ini tidak? Aku lebih kacau saat tidak menemukanmu."
"Aku juga rasanya ingin mati saat Pak Randi gak bolehin aku ketemu keluarga. Dia emang berjasa, sudah menolongku, memberiku tempat tinggal dan makanan yang layak, bahkan dia yang bantu hilangin phobia sampai aku bisa jadi dokter," kata Nala lanjut curhat dengan keadaannya beberapa tahun yang lalu.
"Dia kaya, semuanya dia punya. Kenapa kamu gak milih orang itu aja jadi pendampingmu?"
"Yang kaya emang mudah dicari, tapi kalau yang kayak kamu pastinya aku harus tidur berabad-abad dulu," balas Nala sedikit tak masuk akal.
"Siapa juga yang mau sama gadis yang tidurnya udah berabad-abad? Mending sama nenek-nenek," kekeh Alfa.
Kesal, Nala mencubit perut Alfa sampai pemiliknya meringis. "Dari dulu gak berubah, ya? Tetap menyebalkan."
"Biarkan saja aku menyebalkan. Asalkan itu tidak menyakitimu. Berjanjilah, kita akan selalu bersama, Nala." Senyum Alfa terukir, tangan kirinya menyentuh lengan yang melingkat di perut.
"Janji."
Selanjutnya Alfa tak lagi berkata. Ia lebih fokus menatap ke depan, menjalankan mobilnya menuju kontrakkan Gibran. Dari kaca spion dapat dilihat sebuah mobil melaju kencang ke arah mereka. Alfa mulai curiga kalau-kalau orang itu adalah suruhan Randi atau Randi itu sendiri.
"Al, tambahin kecepatan. Randi ngikutin kita," lapor Nala dengan panik.
Dugaan Alfa benar, mobil itu adalah milik Randi. Kecepatan motornya pun semakin ditambah untuk lari dari kejaran. Alfa memilih memasuki lorong-lorong tertentu tapi mobil itu tetap mengejar. Sampai di sebuah perempatan ketika Alfa berbelok, ia tak sengaja menabrak Gibran yang juga berada di sana. Saat itu pula motornya terserempet hingga yang berada di atasnya terlempar bersimbah darah.
"Na ... la." Suara Alfa terdengar parau. Tangannya berusaha menggapai tangan gadis yang menoleh ke arah lain di sampingnya.
Sementara Nala yang merasa berat di bagian kepala dengan pandangan yang samar-samar melihat ayahnya terbaring tepat di sampingnya. Penglihatannya sangat tidak jelas, matanya sangat sakit. Dia tak ingat ada Alfa sehingga tangannya justru memilih untuk menggapai Gibran yang tak sadarkan diri. Belum sampai kesadaran Nala hilang sepenuhnya.
***
Suara mobil ambulance memenuhi setiap jalanan yang mereka lewati. Ketika sampai di rumah sakit para medis bergerak cepat membawa pasien dengan brankar. Tiga pasien ini dibawa ke ruang UGD yang sama.
"Bu, i-itu Kak Nala?" tanya Tio pada Nita di ruang tunggu dengan cemas. Nita mengangguk.
Iya. Nita, Tio dan Pesa juga berada di tempat ketika kecelakaan terjadi. Jika Gibran tidak memilih untuk melangkah cepat--berjalan lebih dulu agar secepatnya mencari angkot mungkin kejadiannya tak akan seperti ini.
Nita menyorot tajam ke arah pria yang duduk di kursi seberangnya. Amarahnya kini tak dapat terkendali sehingga Nita mendekat dan menarik kerah baju Randi.
"Ini semua gara-gara kamu! Suami saya, anak saya, calon menantu sampai mengalami kecelakaan! Kamu harus tanggung jawab dengan keadaan mereka, tanggung jawab!"
"Bu, udah bu." Tio dan Pesa berusaha melerai. Randi hanya bisa pasrah dengan keadaan. Randi sendiri tak menyangka jika besar cintanya harus membuat Nala berada di ambang kematian.
Satu jam itu berlalu, dua dokter yang menangani pasien keluar secara bersamaan. Lantas membuat yang berada di ruang tunggu berdiri dengan rasa khawatir.
"Bagaimana keadaan suami dan anak-anak saya, dok? Mereka baik-baik saja kan?" Nita memburu dokter itu.
"Pak Alfa saat ini sedang koma," ucap salah satu dokter yang dikenal dekat dengan Alfa.
"Suami anda masih dalam keadaan kritis. Harapan untuk hidupnya untuk selamat sangat kecil," timpal dokter satunya lagi.
"Lau, bagaimana dengan Nala? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Nita lagi karena tak ada dokter ini membahas putrinya.
"Bu Nala masih dalam pemeriksaan."
Di dalam ruangan, dokter dengan ditemani beberapa perawat masih memeriksa Nala.
"Sepertinya dokter Nala mengalami buta karena benturan keras. Ditambah matanya sebelah terdapat kaca yang menancap." Dokter itu berkata turut prihatin.
Gibran yang mulai sadar itu mendengar. Nafasnya tak beraturan sehingga para medis lagi-lagi menghampiri.
"Se-belum saya meninggal saya mau mendonorkan mata saya untuk ... Nala. P-putriku, tercin-ta." Terbata-bata Gibran berkata. Kemudian ia menutup mata, para dokter harus merasa kecewa karena gagal menyelamatkan pasiennya.
Mau bagaimana lagi? Kalau takdir sudah menetapkan pilihan, yang sedang berusaha tidak bisa mengubahnya.
Bersambung ....
Terus baca Mimpi Yang Terluka.
Jangan lupa share ya ke teman-teman kalian, barangkali mereka suka.Jangan lupa votement-nya readers!
Jangan jadi pembaca sider, ya.Sampai jumpa di part selanjutnya ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Yang Terluka [END]
Fiction générale[Biasakan follow sebelum membaca] Luka? Cukup di masa lalu kau datang! Berhenti mengusik, biarkan masa itu berlalu tanpa membebani masa depan yang menjadi harapan. Kecerobohan Nala membuatnya terjerumus dalam luka yang sampai sekarang tak mengizinka...