Tekan bintangnya, readers!
Votement kalian smeangat aku.Happy reading
____
Cuaca cukup cerah pagi ini. Kabut yang mengembara di pucuk pohon sudah sirna. Nala yang belum sempat merapikan rambut setelah mandi, langsung menjemur pakaian basah atas perintah ibunya.
Tapi, kesibukannya itu terhenti saat seseorang yang memanjat pohon rambutan di luar halaman rumah memanggil dirinya. Karena penasaran, Nala menghampiri. Pakaian yang tersisa dibiarkan begitu saja.
"Sedang apa kau di sana?" Nala langsung menanyain ketika tahu yang ada di atas pohon adalah Alfa.
Alfa beringsut pindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Menatap lekat sampai-sampai yang ditatap merasa salah tingkah.
"Berhenti menatap! Kau belum menjawab pertanyaanku!" tegur Nala.
"Memandangi peri," jawab Alfa semakin menambah kegugupan pada Nala.
"Peri dingin yang punya serinj kelebihan," lanjut Alfa dengan tangan yang sibuk mematahi ranting-ranting kecil.
"Di zaman seperti ini tidak ada yang namanya peri. Lebih baik kau turun, sebelum kau jatuh." Nala yang sedikit tersinggung berusaha menutupi perasaan salah tingkahnya. Pergi adalah jalan keluar baginya.
"Kata siapa tidak ada?" tukas Alfa kembali menghentikan langkah Nala. Ditambah kelakuannya yang lompat dari ketinggian pohon, benar-benar membuat Nala mendekat sebab khawatir.
"Hatu-hati! Bagaimana jika kau terluka?" Nala mendekat hendak membantu, tapi yang hendak dibantu sudah berdiri lebih dahulu.
"Selama aku jatuh di hati seorang peri seperti dirimu, aku tidak akan terluka."
Nala memalingkan wajah, berusaha meyakinkan diri agar tidak terbawa perasaan. Rasa kesal membuatnya begitu ingin merobek mulut yang sudah mengungkapkan hal itu. Apa daya jika pemuda di depannya ini adalah dulur?
"Kau adalah peri dengan seribu kelebihan ...." Alfa seolah sedang memikirkan sesuatu dengan memberi sedikit jeda. "Bukan hanya seribu, tapi sejuta. Bahkan tak terhitung."
"Omong kosong apa itu?!" Nala angkat bicara sebelum pemuda di depannya ini kembali bicara.
"Aku penuh dengan kekurangan. Jadi aku, bukanlah peri yang kau maksud!"
Baru saja Alfa akan melontarkan kata kembali, suara Nita memanggil Nala menghentikannya. Terdengar dari suara itu, sepertinya Nita sangat marah.
"Lebih baik kau pulang, daripada di sini waktu terbuang."
Nala beranjak menuju rumah di mana arah suara berasal. Karena pakaian yang akan dijemur belum diselesaikan, Nala dimarahi sampai-sampai telinganya memerah oleh tarikan tangan Nita.
"Dari hari ini sampai minggu depan tidak ada uang jajan! Semuanya dikasuh ke Pesa!" Nita menghukum dengan hal yang sepihak. Tak peduli bagaimana perasaan putri sulungnya ini.
"Maaf, bu," lirih Nala yang menyesali kesalahannya.
Tanpa ada rasa iba, Nita meninggalkan Nala yang saat ini sudah menangis. Kesalahan kecil saja ia harus dimarahi, bahkan sampai dihukum. Lalu, bagaimana jika melakukan kesalahan besar?
***
Di antara rimbunnya pepohonan dan gemericik air sungai lubuk, Nala berjalan gontai ke arah sungai. Ketika ada masalah, meski masih ada pekerjaan di rumah tetap disempatkan kesana. Sedikitpun tidak bisa menghapus kesedihan, setidaknya bisa sedikit menenangkan.
Duduk melamun di bebatuan menjadi hak yang begitu asyik bagi Nala. Sampai-sampai tak menyadari kehadiran pemuda yang lagi-lagi mengikutinya.
"Jangan melamun, nanti kerasukan." Suara Alfa tiba-tiba menyambar di tengah tenteramnya suara hutan.
"Kalau kerasukan cinta aku, kan, tidak masalah." Kata-kata kali ini membuat gadis yang ia tegur ini menoleh, mengurungkan niat untuk mengabaikan.
"Kenapa kau selalu mengikutiku?" tanya Nala dengan garang tanpa memikirkan apa yang akan dikatakan pemuda ini sata melihat mata sembabnya.
"Karena aku datang bukan sebagai pecundang, tapi sebagai pembangkit hatimu yang terpuruk dan bertanggung jawab akan hal itu," jawab Alfa sesuai dengan isi hatinya sekarang.
"Tapi aku tidak butuh tanggung jawab itu. Entah itu kau hadir atau tidak dalam hidupku, aku tidak akan menyebutmu pecundang!"
Kata-kata yang baru saja dilontarkan dengan penuh penekanan sedikit bertentangan di hati Alfa. Ia tahu jika Nala memiliki kehidupan yang dipenuhi dengan luka, terlihat dari tatapan mata yang berkaca-kaca itu.
"Aku tahu, kau pasti memiliki masalah yang melukaimu begitu dalam. Tapi kau, pasti memiliki kesempatan untuk memulai kemudian kembali menjaganya."
Alfa berusaha meyakinkan, tapi Nala sepertinya tak percaya dan begitu tak peduli dengan kata kesempatan yang tertakdir untuknya.
"Kesempatan? Aku tidak peduli akan hal yang hanya datang secara kebetulan, lalu pergi tanpa berpikir seratus kali!"
"Kesempatan bukan datang secara kebetulan. Ia datang ketika kau kembali berjuang." Alfa menjawab tak kalah sengit dengan ucapan Nala.
Dari ini membuatnya semakin yakin, ada luka yang sudah lama dipendam. Dan Alfa yang akan menyembuhkannya, sesuai janji di masa lalu dengan ibunya kepada wanita yang sudah mengambil hatinya pertama kali.
Bermenit-menit kemudian mereka kembali diam, menatap air jernih yang mengalir terus menerus tanpa henti dan tanpa kata lelah. Meskipun bebatuan menjadi salah satu penghalang. Angin pun turut serta menghiasi udara dengan kesejukannya tanpa menampakan diri.
"Duniaku hanya sebatas bagaimana diriku, jalanku dan takdirku dalam hidupku!"
Nala yang terbawa emosi kini hendak berdiri. Tapi karena batu yang ia pijak bergerak, ia terjatuh. Alfa yangingin menyambut tubuh itu juga gagal, alhasil ikut tercebur.
Bersambung ....
Sampai jumpa di part selanjutnya, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Yang Terluka [END]
Ficción General[Biasakan follow sebelum membaca] Luka? Cukup di masa lalu kau datang! Berhenti mengusik, biarkan masa itu berlalu tanpa membebani masa depan yang menjadi harapan. Kecerobohan Nala membuatnya terjerumus dalam luka yang sampai sekarang tak mengizinka...