Part 8 : Tahun Baru

54 38 0
                                    

Tekan bintangnya, Readers!
Votement kalian, semangat aku.

Happy reading ....

______________

Tengah malam tepat jam dua belas, suara petasan meluncur ke angkasa dengan suara khasnya. Memeriahkan malam sunyi dengan percik kembang api serta hiasan-hiasan petasan di langit. Semua yang mengadakan larut dalam kegembiraan. Ada yang membakar jagung, menghidupkan percun dan sebagainya.

Nala juga tidak ketinggalan. Dengan tangkas ia mengambil satu jagung yang sudah ditusuk oleh lidi, kemudian membakarnya dalam api unggun. Dan kebetulan Alfa--pemuda menyebalkan bagi Nala itu duduk persis di sampingnya dengan kegiatan yang sama.

Kali ini Nala tidak akan menanyakan apapun. Karena baginya, ia pasti akan selalu bertemu. Setelah jagungnya sudah matang, tiupan dihembuskan agar saat memakannya tidak terlalu panas. Sampai pipi itu belepotan dengan noda hitam bekas jagung bakar.

"Makannya jangan belepotan seperti itu, lah." Alfa membuka pembicaraan, sementara yang lain masih asyik dengan kegiatan.

"Aku makan tidak meminjam mulutmu, jadi jangan banyak protes," omel Nala masih dengan mengunyah.

Kegiatan itu terhenti ketika tangan Alfa menyentuh sudut bibirnya. Bukan ada niat jelek, tapi hanya bermaksud membersihkan noda tadi. Nala menoleh, menatap lekat netra pemuda di sampingnya.

Tanpa ragu ia berkata, "Al, jagungmu hangus."

Awalnya Alfa tidak percaya mendengar ucapan Nala. Tapi ia akhirnya menyakini saat melihat jagungnya sudah gosong dan tidak bisa lagi dimakan. Lidinya juga perlahan patah.

Sementara Nala tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Alfa yang kecewa.

"Benar, jagung ini hangus. Tapi perasaanku padamu tidak akan pernah hangus." Alfa berkata sambil terus menatap mata Nala yang sudah berhenti tertawa.

Nala mengerti apa yang dimaksud Alfa. Ia pun langsung menyodorkan jagungnya pada Alfa dan kembali berkata.

"Cobalah jagungku ini."

Pemuda itu nampak berpikir. Meski hatinya bertanya-tanya akan ketumbenan Nala, ia hendak menggigit jagung itu. Kemudian Nala menjauhkan sebelum Alfa melahapnya. Ini benar-benar menyebalkan.

"Lebih baik kau ambil lagi di sana jika memakan punyaku harus berpikir dulu." Nala langsung menggigit jagungnya tanpa memikirkan pemuda di sebelahnya.

Tapi tangan Nala ditarik, hingga jagung di tangannya tadi dimakan oleh Alfa.

"Hei! Ini jagungku, Al!"

"Tidak, Nala. Kau sudah menawariku," ucap Alfa dengan mulut yang dipenuhi jagung.

Nala menerawang jauh. Hatinya kembalu diliputi rasa yang tak ingin ia tumbuhkan. Ia lantas tersenyum menatap wajah Alfa yang sedikit diterangi api unggun.

"Kalau menatapku itu harus sungguh-sungguh. Agar rasamu tumbuh dan kekal di sini," ucap Alfa menepuk dada kirinya sendiri.

"Aku tidak menatapmu!" elak Nala memalingkan wajahnya.

"Oh, ya? Lalu, apa yang kau lakukan tadi?"

"Eee, aku ...." Nala gelagapan. Kelakuannya sudah diketahui, tapi sebisa mungkin ia harus mengelak.

"Aku hanya berpikir, kenapa kau harus tinggal di depan kontrakanku?" Nala berhasil mencari pembahasan yang lain.

"Itu artinya kita ditakdirkan bersama."

"Tidak! Ini pasti akal-akalanmu, Al!" Nala menyalahi kata Alfa.

"Aku tinggal di tempat kakekku. Jadi aku hanya menuruti aturan kakekku." Alfa membuang bekas jagung yang ia makan.

"Aku tidak tahu Baturaja itu seperti apa, Nala."

Nala menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Alfa benar, Alfa orang baru di sini. Nala juga tidak pernah memberitahu masalah kontrakan. Jadi tidak mungkin itu akal-akalan. Tapi tidak mungkin juga itu takdir. Pasti hanya kebetulan.

"Nala, ayo pulang."

Suara Gibran menghentikan Nala yang tengah memikirkan sesuatu. Ia masih ingin berada di sini, keberangkatannya besok mengharuskannya untuk pulang dan beristirahat.

"Tidur yang nyenyak. Jangan lupa bermimpilah tentangku."

"Bodo amat!" ujar Nala tertawa sembari berlari menuju ayahnya.

***

Di depan rumah Nala, kepala desa--bapak Lukman dan belasan orang lainnya sudah berkumpul. Pagi ini semua sudah siap. Pesa menaiki mobil yang memuat barang-barang, sementara Nala menaiki motor yang dikendarai Alfa.

"Hati-hati, nak."

Nasihat itulah yang diucapkan Gibran terakhir kali. Dengan lambaian tangan Nala pada Gibran, mereka berangkat dengan kendaraan yang ada. Kicauan burung ikut menyertai bersamaan dengan munculnya cahaya mentari pagi yang cerah.

Bersambung ....

Mimpi Yang Terluka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang